OPINI

Cicero Bangkit di Negeri Para Penjilat

ruminews.id – Andai Cicero hidup hari ini, ia mungkin tak perlu lagi berdebat di Senat Roma tapi cukup menyalakan televisi dan menatap wajah para politisi yang bicara tentang “integritas”dengan mata yang bahkan tak sanggup menatap kamera.

‎Ia akan tertawa lirih dan berkata:

“Dulu kami menyebut mereka pengkhianat republik. Kini kalian menyebut mereka ‘tokoh bangsa.”

Cicero akan melihat orang-orang yang dulu disebut pemberani, kini disebut tidak sopan. Ia akan mendengar kritik disensor atas nama etika,

‎dan kebohongan dibungkus dengan pita bernama “Narasi Kebangsaan.”

‎Ia akan mencatat: di zaman modern, penjilat tidak lagi bersembunyi di balik tirai istana tetapi mereka duduk di depan kamera, tampil di talkshow, tersenyum sambil menjelaskan bahwa semua ini demi rakyat.

‎Padahal rakyat hanya muncul saat perlu dijadikan latar foto.

Di Roma kuno, penjilat biasanya berbisik di telinga Caesar. Kini, mereka berteriak di media sosial, berlomba menjadi terdepan dalam pujian. Mereka tidak lagi menunduk di depan kekuasaan tapi mereka menari di atas lidah sendiri.

Cicero akan menatap para birokrat yang membungkuk hingga punggungnya patah demi satu tanda tangan.

‎Ia akan melihat akademisi yang menulis riset tentang moral, tapi lupa mencarinya di dirinya sendiri.

Ia akan melihat agamawan yang menyeru kebenaran, tapi hanya sebatas siapa yang memegang mikrofon.

‎Dan ia akan menulis:

“Tak ada tirani yang lebih berbahaya dari tirani yang diberi karpet merah oleh penjilat.”

Cicero akan kembali kecewa.

‎Ia pernah berkata;

‎“A nation can survive its fools, but not its traitors.”

‎Tapi di negeri modern ini, ia mungkin harus menambahkan satu kalimat baru:

‎“Namun bangsa yang memelihara penjilat, sesungguhnya sedang menggali kuburnya sambil tersenyum.”

‎Sebab di sini, pengkhianatan tidak lagi disembunyikan tapi ia difasilitasi, dibiayai, dan disiarkan langsung.

‎Yang jujur diadili, yang menunduk diberi pangkat, yang bicara benar dituduh sombong,

‎dan yang menghisap ludah kekuasaan diberi gelar “pejuang stabilitas.”

‎Dan ketika rakyat bertanya ke mana perginya suara kebenaran,

‎Cicero mungkin menjawab pelan:

‎“Kebenaran masih ada, hanya saja suaranya tenggelam oleh tepuk tangan para penjilat.”

Share Konten

Opini Lainnya

ab29cefe-49ca-48f8-a59d-adf2c00da05b
Belajar Pelan-Pelan di Kota yang Bergerak Cepat
331cac43-f13d-4690-a876-4f51ba879d65
Negara Sibuk Mengurus Sawit, Air Mengurus Rakyat: Air yang Jujur, Negara yang Mengelak
b2933403-15a0-4d99-acc9-00e5a7c644c8
Ketika Pelajaran Sekolah Menyelamatkan Nyawa.
00e38094-709c-4290-9114-a1114e54b60a
Kebijakan Pertanian : Peluang Generasi Muda dan Masa Depan Indonesia
962faf62-2d6b-4a1b-b248-cdfd67cfa972
Nexus: Ketika Jaringan Informasi Menjadi Arena Politik Peradaban
2e12a1c3-353e-453b-bc48-ed0418db2ed9
Raja Ampat dan Geopolitik Sumber Daya Alam: Di Antara Surga Ekologi dan Tarikan Ekonomi Global
6ce775bb-a2c5-4ce4-af47-629de78123fe
LKIII BADKO PAPUA BARAT - PAPUA BARAT DAYA: KEDAULATAN SDA MINERAL KRITIS
9914b5ac-eb0b-45f7-8a0c-c89cff75166f
Presiden tolong buatkan kami jembatan agar kami nyaman kesekolah. Seorang anak pelosok meminta lansung dibuatkan jembatan terhadap presiden.
abff4d92-1a71-496d-9412-afd1404a8a41
LK III BADKO HMI PAPUA BARAT - PAPUA BARAT DAYA: KAPITALISME DIGITAL & SEMESTINYA KADER HMI BERSIKAP
bfaac97f-6e5c-4768-8b85-928a191d4b8b
28 November: Peringatan yang Kita Diamkan, Dampak yang Kita Rasakan
Scroll to Top