ruminews.id – Pendidikan yang membebaskan dari belenggu dogmatis adalah pendidikan yang diberikan kepada peserta didik sesuai dengan perkembangan dan potensi yang dimiliki oleh peserta didik agar tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang merdeka.
Dalam pemikiran Paulo Freire pada posisi lain terletak pada pandangannya tentang manusia dan tentang dunianya yang kemudian ditransformasikan ke dalam dunia pendidikan yang menghasilkan model pendidikan alternatif sebagai tawaran yakni dari model pendidikan yang membelenggu ke model pendidikan yang membebaskan.
Menurut Giroux dalam sistem pendidikan yang ditawarkan Paulo Freire tidak bermaksud menawarkan resep yang radikal untuk menciptakan sistem pendidikan yang sekedar kritis. Akan tetapi, menawarkan serangkaian petunjuk arah yang bersifat teoretis dan berguna-praktis. (1)
Melihat pendapat Giroux bahwa Paulo Freire tidak hanya pada teoretis semata. Tetapi, Paulo Freire juga memberikan kontribusi pada praktis-aksi.
Dengan ini, melihat pemikiran Paulo Freire pendidikan yang ditawarkan bulan sekadar teoretis. Paulo Freire juga memberikan kontribusi terhadap masyarakat melalui aksi-praktis (mengaplikasikan teori yang ditawarkan dalam sistem pendidikan).

Disisi lain, perlu juga diketahui bahwa Paulo Freire tidak hanya bersikap kritis dalam pendidikan. Paulo Freire juga mencari terobosan untuk mengunggah mereka yang terlibat dalam sistem pendidikan yang membelenggu agar bangkit untuk membebaskan dirinya.
Karena itu, bagi Paulo Freire pendidikan sebagai salah satu instrumen pembebasan dan memanusiakan manusia. Dalam sistem pendidikan yang ditawarkan Paulo Freire bukan sekadar mengajar dan di ajar hingga terkesan dogmatis (menerima apa adanya yang disampaikan pengajar).
Hal tersebut, Soekarno juga menolak sistem pendidikan yang cenderung dogmatis. Penolakan Soekarno terhadap sistem pendidikan yang dogmatis merupakan pemikiran yang perlu di hindari.
Makna penting yang terkandung dalam pemikiran Soekarno adalah bahwa patuh dalam pengertian negatif berpeluang melahirkan murid-murid yang mempunyai mental membebek, apatis, dan tidak kreatif. (2)
Dengan kata lain, model pendidikan yang ditawarkan Soekarno menolak model pendidikan yang membelenggu atau dogmatis semata. Tetapi, bagaimana sistem pendidikan itu membentuk dialog hingga terbentuk nalar kritis.
Kalaupun demikian, bagaimana membentuk nalar kritis, agar menjadi murid atau mahasiswa yang tidak membebek, tidak apatis, dan tetap kreatif.?
Menurut Soekarno, penolakan terhadap model-model pendidikan yang dogmatis dilatarbelakangi oleh keyakinannya bahwa pola itu cenderung menempatkan murid hanya sebagai objek, bukan subjek hidup yang sepantasnya bisa berpendapat.
Olehnya, dalam sistem pendidikan, Soekarno mengandaikan terjadinya hubungan ataupun interaksi timbal balik yang kreatif, kritis, mengedepankan dialog, serta murid, siswa, mahasiswa, santri, bisa menjauhkan dari kultur otoriter yang dapat membuat orang yang di didik menjadi takut dan tertekan.
Pola-pola pendidikan yang otoriter menggunakan kekerasan dengan dalih menegakkan disiplin, monologis, dan semacamnya, dalam konteks sekarang sudah tidak relevan, kadaluarsa, dan bertentangan dengan semangat zaman sekarang. (3)
Penulis juga berani berpendapat bahwa seharusnya model pendidikan bukan sekadar mengajar dan di ajar. Tetapi, bagaimana pengajar mampu memantik nalar kritis yang di ajar melalui dialog antara pengajar dan di ajar. Oleh karena itu, Soekarno dapat menyadari hal tersebut sehingga menawarkan model pendidikan yang dialog hingga terbentuk nalar kritis dan mampu mencerdaskan manusia sesuai potensi yang dikembangkan.
Dengan ini, Soekarno menyadari lembaga pendidikan ibarat pusat laboratorium pencerdasan masyarakat atau pabrik manusia-manusia yang bermutu yang berikutnya membawa kemajuan bagi umat dan bangsanya. (4)
Maka seharusnya pendidikan menjadi kunci dalam memajukan umat dan bangsa dalam segala aspek kehidupan.
Seperti dalam ungkapan Soekarno bahwa ketidakberhasilan sebuah bangsa dan negara di masa kini dan masa mendatang dalam mencapai kemajuan terutama karena bangsa dan negara itu gagal mengelola pendidikan dan mesti sampai pada usaha melacak permasalahannya secara epistemologis.
Menurut Murtadha Muthahhari, jika kita amati bersama dan seksama secara epistemologis bahwa paradigma pendidikan tradisional pada umumnya masih terkesan mengesampingkan peran pengembangan potensi kemampuan nalar kritis dan berkreasi.
Hal ini dapat dilihat secara fenomena, begitu banyak orang yang menimba ilmu pengetahuan. Namun, mereka ibarat alat perekam bagi ilmu-ilmu yang mereka pelajari, tidak lebih kurang.
Kadangkala mereka mempelajari sebuah kitab dari guru mereka dengan tekun dan konsentrasi penuh, mereka berusaha memahami bacaan dan bahkan menghafalnya. Pada masa yang akan datang, mereka pun menjadi para guru. Lalu, mereka mengajar dan menerapkan metode pembelajaran persis seperti yang mereka temui ketika belajar dari guru-guru mereka sebelumnya. (5)
Pada akhirnya, sistem pendidikan terkesan dogmatis dan hanya sebagai penganut pengetahuan nukilan. Dalam artian, apa yang disampaikan oleh para guru terdahulu kepada muridnya dan murid tersebut menjadi guru dimasa depan itu juga yang disampaikan kepada muridnya hingga seterusnya.
Sederhananya model pendidikan seperti itu, tidak mengembangkan potensi-potensi kritis dan kreativitasnya dalam diri murid dan menjadi pengetahuan nukilan hingga terkesan dogmatis.
Dengan demikian, penulis melihat model pendidikan yang ditawarkan oleh para pemikir yakni Paulo Freire, Soekarno dan Murtadha Muthahhari menolak sistem pendidikan yang dogmatis ataupun otoriter. Dengan hal ini, hanya membebek, apatis dan tidak kreatif. Maka dari itu, model pendidikan yang di tawarkan ketiga pemikir adalah Kritis, sistematis, kreatif, pendidikan sebagai laboratorium pencerdasan, hingga pendidikan mampu membebaskan dari belenggu dogmatis.
Daftar Pustaka:
(1). Paulo Freire dan kawan-kawan: Pemikiran-Pemikiran Revolusioner. Hal.159
(2). Syamsul Kurniawan: Gagasan Pendidikan Kebangsaan Soekarno. Hal.136
(3). Syamsul Kurniawan: Gagasan Pendidikan Kebangsaan Soekarno. Hal.137
(4). Syamsul Kurniawan: Gagasan Pendidikan Kebangsaan Soekarno. Hal.137
(5). Murtadha Muthahhari: Dasar-Dasar Epistemologi Pendidikan Islam. Hal.9