ruminews.id – Dalam bukunya “Rich Dad Poor Dad”, Robert Kiyosaki menjelaskan bahwa ada dua emosi utama yang sering mendorong orang dalam mengejar uang, yaitu rasa takut dan keserakahan. Pertama, rasa takut yang dimaksud di sini bukan takut pada hal-hal mengerikan, tapi lebih pada takut kekurangan. Banyak orang merasa cemas kalau-kalau mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup seperti makanan, tempat tinggal, atau biaya sehari-hari. Karena ketakutan inilah, mereka terus bekerja keras dari pagi hingga malam, dari minggu ke minggu, hanya demi mendapatkan gaji. Begitu menerima gaji, langsung digunakan untuk membayar tagihan, lalu bekerja lagi. Pola hidup seperti ini oleh Kiyosaki disebut sebagai “rat race” (perlombaan tikus) – semacam lingkaran tanpa ujung yang membuat orang terus berputar tanpa pernah merasa benar-benar merdeka secara finansial.

Bayangkan seekor tikus yang terus berlari di dalam roda putar. Walaupun dia berlari sekuat tenaga, dia tidak pernah sampai ke mana-mana. Nah, gambaran itu dipakai untuk menggambarkan hidup banyak orang: mereka bangun pagi, berangkat kerja, menerima gaji, membayar utang atau tagihan, lalu mengulanginya lagi keesokan harinya. Tujuannya cuma supaya bisa bertahan hidup. Tapi lama-lama, hidup seperti ini terasa melelahkan dan membosankan, karena tidak memberi ruang untuk berkembang atau menikmati hidup. Rat race adalah istilah yang menggambarkan pola hidup dimana seseorang terus bekerja keras, dari hari ke hari, hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar dan membayar tagihan, tetapi tidak pernah benar-benar merasa bebas secara finansial atau puas dengan hidupnya.
Lalu, setelah seseorang menerima gaji, muncul emosi kedua, yaitu keserakahan – atau lebih halusnya disebut keinginan. Melihat uang yang ada, orang mulai membayangkan barang-barang yang bisa dibeli: baju baru, ponsel terbaru, mobil impian, atau liburan ke luar negeri. Keinginan ini mendorong orang untuk bekerja lebih keras, bukan demi kebebasan finansial, tetapi untuk memuaskan nafsu konsumtif. Masalahnya, makin dituruti, makin besar pula keinginan itu. Kiyosaki mengingatkan bahwa kalau kita tidak sadar sedang digerakkan oleh rasa takut dan keserakahan, maka hidup kita akan terus dikendalikan oleh dua emosi ini. Kita akan terus bekerja dan membelanjakan uang tanpa pernah merasa cukup. Orang yang cerdas secara finansial adalah mereka yang mampu mengenali emosi-emosi ini, lalu belajar mengendalikannya. Mereka tidak membuat keputusan karena panik atau tergoda, tapi karena punya pengetahuan, perencanaan, dan tujuan yang jelas.
Kalau kita bicara soal mencari rezeki, banyak orang hanya fokus pada kerja keras dan strategi. Padahal, emosi yang menyertai proses itu juga sangat menentukan – apakah rezeki terasa mengalir dengan ringan, atau justru terasa berat dan menguras energi. Berdasarkan ilmu psikologi positif, spiritualitas, dan pengalaman para pebisnis sukses yang sadar pentingnya kualitas batin, ada tiga emosi utama yang justru bisa menyuburkan proses mencari rezeki: syukur, antusiasme, dan ketulusan. Pertama, syukur. Banyak orang hanya bersyukur setelah menerima hasil. Tapi sebenarnya, bersyukur saat dalam proses juga sangat penting. Ketika kita bersyukur, kita merasa cukup, dan perasaan cukup ini justru membuka pintu kelimpahan yang lebih besar. Syukur menjauhkan kita dari rasa panik, dari pola pikir “harus buru-buru cari uang karena takut kekurangan”. Cukup dengan membiasakan diri berkata dalam hati, “Terima kasih yaa Allah, aku dipercaya untuk menciptakan nilai hari ini”, maka energi kita sudah berubah menjadi lebih ringan dan tenang.
Kedua, antusiasme, atau semangat yang muncul dari rasa senang mencipta dan memberi. Ini adalah bahan bakar alami yang membuat kita bekerja bukan karena terpaksa, tapi karena kita menikmati prosesnya. Saat kita antusias, ide-ide kreatif lebih mudah muncul, peluang lebih gampang datang, dan kita lebih disukai orang lain. Jadi, daripada fokus pada “berapa banyak uang yang bisa aku dapat?”, lebih baik tanyakan, “nilai apa yang bisa aku bawa hari ini?” Dari situlah rezeki mengalir lebih deras dan alami. Ketiga, ketulusan. Ini adalah niat murni untuk memberi manfaat, bukan hanya sekadar mengejar keuntungan. Ketulusan membuat usaha kita punya makna spiritual, dan membentengi kita dari keserakahan. Sebelum menawarkan sesuatu, cobalah tanya pada diri sendiri, “Apakah ini benar-benar membantu hidup orang jadi lebih baik?” Ketika jawabannya tulus, rezeki biasanya akan datang dengan cara yang tak terduga.
Jadi, dalam perjalanan mencari rezeki, mari kita temani langkah kita bukan dengan rasa takut atau nafsu ingin lebih banyak, tapi dengan syukur, semangat, dan niat yang tulus. Karena rezeki sejatinya bukan hanya tentang apa yang kita dapat, tapi juga bagaimana kita menjalaninya. Kalau dirangkum dengan sederhana, emosi terbaik saat mencari rezeki adalah memadukan syukur, semangat, dan ketulusan. Bayangkan kita melangkah setiap hari dengan hati yang bersyukur, bukan karena sudah punya segalanya, tapi karena sadar setiap proses adalah berkah. Lalu, kita melangkah dengan semangat, bukan karena terpaksa, tapi karena senang mencipta dan memberi manfaat. Dan yang paling penting, di balik semua usaha itu, ada niat yang tulus. Bukan sekadar ingin untung, tapi benar-benar ingin membantu dan memberikan nilai bagi orang lain. Ketika tiga hal ini bersatu, kita tidak hanya mencari rezeki, tapi juga menciptakan makna dalam setiap langkah. Hasilnya, rezeki tidak hanya datang dalam bentuk materi, tapi juga dalam bentuk ketenangan, kepuasan batin, dan relasi yang berkualitas.
*@pakarpemberdayaandiri*
*Ayo Gabung Komunitas Pakar Pemberdayaan Diri Untuk Pemograman Pikiran dan Tubuh dengan klik:* https://tribelio.page/syahril-syam
#thesecretofattractorfactor #changelimitingbeliefs #pakarpemberdayaandiri #SelfAwarenessTransformation