BAGAIMANA MENGUBAH PENGALAMAN EMOSIONAL?
Teori Konstruksi Emosional (Theory of Constructed Emotion) yang merupakan hasil penelitian ilmiah Lisa Feldman Barrett dengan menggunakan bukti dari neurosains, psikologi sosial, dan antropologi, menunjukkan bahwa emosi adalah hasil kerjasama kompleks antara otak, tubuh, dan lingkungan. Teori ini menantang pandangan tradisional dan membuka jalan baru dalam memahami dan mengelola emosi. Emosi adalah pengalaman subjektif yang dihasilkan oleh otak melalui proses interpretasi sinyal tubuh (interosepsi), prediksi berdasarkan pengalaman masa lalu, serta pengaruh sosial dan budaya. Dan karena emosi bukanlah respons otomatis bawaan, maka teori konstruksi emosional menawarkan kerangka yang lebih fleksibel dan relevan untuk memberdayakan diri kita dalam memahami dan mengelola emosi di dunia modern.
Melalui pemahaman ini, kita harus sadar bahwa emosi adalah hasil konstruksi otak, dan dengan demikian kita juga mesti menyadari bahwa stres sebenarnya bukan sesuatu yang datang begitu saja, melainkan hasil dari bagaimana otak kita memahami dan menilai situasi. Jika kita memandang suatu keadaan sebagai tantangan yang bisa diatasi, otak akan membantu membangun perasaan yang lebih mendukung, seperti percaya diri atau antusiasme, daripada rasa kewalahan. Alihkan fokus dari pikiran negatif – seperti takut gagal – dengan membayangkan keberhasilan dan manfaat yang akan kita dapatkan dari pengalaman tersebut, juga nikmati proses yang dijalani saat ini. Dengan cara ini, kita mengubah stres menjadi dorongan positif. Jadi, kalau merasa cemas sebelum presentasi, coba lihat rasa cemas itu bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai tanda bahwa tubuh kita sedang mempersiapkan diri untuk tampil maksimal. Anggap cemas itu sebagai semangat untuk memberikan yang terbaik. Mengelola stres seperti ini adalah soal bagaimana kita memandang dan menilai pengalaman, sehingga emosi yang dihasilkan pun berubah menjadi lebih membantu.

Kita juga bisa membangun ketahanan emosional dengan mengelola mindset (cara pandang). Ketahanan emosional bisa tumbuh jika kita memahami bahwa emosi bukan sesuatu yang tetap, melainkan dibentuk oleh cara kita memandang pengalaman hidup. Dengan mengubah cara berpikir kita tentang tantangan atau kesulitan, kita juga bisa mengubah emosi yang muncul, sehingga menjadi lebih positif dan memberdayakan. Ketika mengalami kegagalan, daripada merasa malu atau putus asa, coba lihat kegagalan itu sebagai peluang untuk belajar dan memperbaiki diri. Cara kita memahami pengalaman sangat menentukan bagaimana kita merasakan emosi. Mengelola pola pikir adalah kunci untuk menciptakan ketahanan emosional.
Manfaat lainnya adalah membuat kita mampu mengubah pengalaman emosional dengan cara belajar memandang suatu hal secara berbeda, yang disebut pembingkaian ulang (reframing). Saat kita merasa marah, cemas, atau frustrasi, maka dengan mencoba melihat hal itu dari sudut pandang yang lebih positif dapat membantu meredakan emosi tersebut. Jika merasa frustrasi karena terjebak dalam kemacetan, daripada terus kesal, coba anggap itu sebagai waktu untuk bersantai, mendengarkan musik favorit, atau memikirkan hal-hal yang kita syukuri. Dengan mengubah cara kita memandang kemacetan, perasaan frustrasi bisa berubah menjadi lebih tenang dan menerima.
Menurut Barrett, emosi kita dipengaruhi oleh apa yang kita pelajari sejak kecil melalui budaya dan bahasa di sekitar kita. Cara kita memahami dan menamai perasaan – seperti senang, marah, atau sedih – dibentuk oleh kata-kata dan konsep yang kita pelajari. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang memiliki lebih banyak kata untuk menggambarkan emosi (disebut emotional granularity) biasanya lebih pandai mengenali dan mengelola perasaan mereka. Dengan kata lain, semakin kaya kosakata emosional kita, semakin baik kita memahami apa yang kita rasakan dan bagaimana cara mengatasinya.
Kosakata emosional yang kaya memungkinkan kita lebih tepat menggambarkan apa yang kita rasakan. Dengan begitu, kita tidak hanya lebih paham dengan emosi sendiri, tetapi juga lebih mudah menjelaskan perasaan kepada orang lain, sehingga risiko salah paham pun berkurang. Daripada hanya mengatakan “saya sedih”, coba cari kata yang lebih spesifik seperti “kecewa”, “frustrasi”, “kesepian”, atau “terluka”. Ini membantu kita memahami apa yang sebenarnya kita rasakan. Jika seseorang merasa “kecewa”, ia mungkin menyadari bahwa harapannya terhadap sesuatu tidak terpenuhi. Tapi jika seseorang merasa “kesepian”, artinya ia butuh koneksi dengan orang lain. Dengan kata-kata yang lebih tepat, kita bisa menemukan solusi yang sesuai untuk perasaan tersebut. Selain itu, orang lain juga akan lebih mudah memahami apa yang kita rasakan. Ini membantu membangun hubungan yang lebih hangat dan penuh pengertian. Jadi, semakin kaya kosakata emosional kita, maka semakin baik kualitas interaksi kita dengan orang lain.
Emosi juga seringkali memengaruhi cara kita mengambil keputusan. Namun, dengan memahami bahwa emosi terbentuk dari cara kita berpikir dan menilai situasi, kita dapat belajar untuk membuat keputusan yang lebih objektif dan matang. Ketika menghadapi keputusan penting, ambil waktu untuk berhenti sejenak dan pikirkan kembali. Coba pisahkan perasaan langsung yang muncul, seperti takut atau cemas, dari analisis logis tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dengan cara ini, kita tidak akan terburu-buru mengambil keputusan berdasarkan emosi, melainkan berdasarkan informasi yang lebih rasional dan pertimbangan yang matang. Mengelola emosi seperti ini membantu kita lebih tenang dan terarah, sehingga keputusan yang diambil lebih tepat dan bermanfaat.
@pakarpemberdayaandiri
Ayo Gabung Komunitas Pakar Pemberdayaan Diri Untuk Pemograman Pikiran dan Tubuh dengan klik : https://tribelio.page/syahril-syam
#thesecretofattractorfactor
#changelimitingbeliefs #pakarpemberdayaandiri #SelfAwarenessTransformation