OPINI

Starbucks, Bank “Berkedok” Warung Kopi

Siapa yang tidak kenal Starbucks?
Kedai kopi kekinian yang ada dihampir semua kota besar di Indonesia bahkan didunia. Sebagai perusahaan franchise Kedai Kopi terbesar didunia, Starbucks memiliki lebih dari 34,000 jaringan yang tersebar di 84 negara.

Tapi, tahu kah kamu bahwa dalam hal strategi dan model bisnisnya, Starbucks kerap kali dianggap sebagai Bank yang berkedok Kedai kopi oleh beberapa kalangan ahli strategi dan pengamat bisnis. Benarkah demikian?
Hal Ini yang coba dibahas dalam tulisan sederhana ini.

Sekilas Sejarah Berdirinya Starbucks.
Kedai Starbucks berawal dari sebuah toko kecil yang berdiri di Seattle, Washington, Amerika pada tahun 1971 yang dirintis oleh 3 sekawan, yakni Jerry Baldwin (guru bahasa Inggris), Zev Siegl (guru sejarah), dan Gordon Bowker (penulis).

Awal berdirinya, Starbucks adalah toko kecil yang menjual biji kopi, daun teh dan berbagai rempah yang berasal sari mancanegara. Starbucks berubah menjadi Kedai Kopi, baru pada tahun 1987 ketika seorang pebisnis asal Amerika bernama Howard Schultz bergabung sebagai CEO hingga kemudian mengambil alih Starbucks dari Founder sebelumnya. Sejak saat itulah Starbucks terus berkembang menjadi kedai kopi dengan kualitas premium hingga saat ini.

Krisis ekonomi yang melanda Amerika dan sebagian belahan dunia pada tahun 2008, mungkin adalah momentum bagi bisnis Starbucks. Pada saat itu, bisnis Starbucks mengalami penurunan omzet yang sangat signifikan hingga terpaksa menutup 900 gerainya selama kurun waktu 2008-2009 dan harus melakukan PHK sebanyak 6.000 karyawannya. Disaat itulah Howard Schultz yang sebelumnya telah mengundurkan diri sebagai CEO Starbucks, kembali ditarik sebagai CEO untuk membenahi keterpurukan bisnis Starbucks.

Baca Juga:  Kopi dan Inspirasi Revolusi Prancis

Sebagai CEO, Schultz melakukan reformasi radikal yang merubah konsep dan model bisnis Starbucks secara fundamental. Inovasi terbesar yang dilakukannya adalah membuat sebuah program “Customer Loyalty” dengan menerbitkan Kartu yang kemudian dikenal sebagai “Starbucks Gift Card” yang terkoneksi dengan aplikasi digital “My Starbucks” yang diluncurkan pada tahun 2009.

Dengan program kartu dan aplikasi tersebut, setiap pelanggan ditawari berbagai bentuk promosi dan rewards dengan model perhitungan point atas setiap pembelian produk Starbucks dengan menggunakan Kartu dan Aplikasi. Selain itu, pelanggan juga bisa melakukan deposit uang mereka ke kartu atau aplikasi yang nantinya saldo deposit tersebut bisa digunakan untuk membayar pembelian mereka di semua gerai Starbucks.

Sebenarnya, model transaksi melalui deposit dengan media kartu dan aplikasi diatas hampir sama dengan model dompet digital yang kita miliki. Perbedaannya adalah jika saldo pada dompet digital bisa kita gunakan untuk pembayaran berbagai macam jenis transaksi atau pembayaran pembelian berbagai produk, sedangkan saldo deposit pada aplikasi dan kartu Starbucks, hanya khusus digunakan untuk transaksi pembayaran pembelian produk di gerai Starbucks saja.

Lalu, kenapa Starbucks disebut Bank berkedok Kedai Kopi?
Sebagaimana kita ketahui bersama, secara sederhana Bank adalah lembaga keuangan yang aktivitas utamanya adalah menghimpun dana dari masyarakat (berupa tabungan/deposito) dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk Pinjaman (kredit). Dari sisi ini, jelas Starbucks bukanlah lembaga keuangan Bank, karena Starbucks tidak menyalurkan pinjaman kepada masyarakat, meskipun dalam proses bisnisnya sebagaimana yg dibahas diatas, Starbucks menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk saldo deposit pelanggan yang terkoneksi dengan sistem aplikasi digital dan fisik kartu. Selain itu, saldo deposit pelanggan Starbucks tersebut tidak bisa ditarik tunai kembali oleh pelanggan kecuali hanya bisa digunakan untuk pembayaran pembelian produk Starbucks.

Baca Juga:  Sejarah Penggunaan Istilah Andi di Luwu, Bugis, Makassar dan Mandar

Konsep Bank dalam model bisnis Starbucks akan menjadi menarik jika kita menengok pada fakta berupa data perkembangan total jumlah saldo yang didepositkan pelanggan Starbucks.
Pada tahun 2011, 25% penjualan Starbucks dilakukan lewat deposit pelanggan melalui kartu maupun aplikasi, sementara pada tahun 2021, pengguna kartu dan aplikasi Starbucks pada dua negara Amerika dan Canada saja sudah mencapai 24,2 Juta pelanggan dengan total transaksi yg dilakukan melalui kartu dan aplikasi sebesar 40-45%.
Kalau kita bedah lebih jauh, besarnya jumlah akumulasi top up doposit pelanggan Starbucks pada tahun 2021, mencapai 10 Milyar US Dollar atau setara dengan 145 Trilyun Rupiah.

Nah, sampai disini bisa dibayangkan, dengan besarnya jumlah saldo deposit pelanggan yang dikelola Starbucks tersebut, tentu akan membuat Starbucks mampu melakukan ekspansi bisnis dengan sangat leluasa tanpa harus mengajukan pinjaman pada Bank. Manajemen Starbucks bisa membuka ratusan cabang dan membiayai semua biaya operasional bisnisnya dengan dana yang dikelolanya sendiri. Ibaratnya, Starbucks meminjam uang pada pelanggannya dengan suku bunga 0% dan Starbucks tidak perlu khawatir dengan adanya tagihan atau penarikan uang tunai dari pelanggan karena saldo deposit mereka tidak bisa ditarik tunai dan malahan hanya diperuntukkan untuk membeli kembali produk Starbucks.

Baca Juga:  Jangan Biarkan Perasaan Ini Mengendalikan Diri Dalam Mencari Rezeki

Iklan

Apakah terkesan mengada-ada dan berlebihan jika Starbucks dinilai sebagai Bank berkedok Kedai Kopi??!
Ya, mungkin kesan itu mengada-ada dan berlebihan menurut sebagian orang. Tapi, jika kita coba bandingkan misalnya antara aset dalam bentuk deposit pelanggan yang dikelola Starbucks dengan Bank-bank yang ada di Amerika, maka tampak bahwa dana deposit yang dikelola Starbucks (dana pelanggan yang mengendap per tahun 2022) adalah sebesar 1,723 Milyar US Dollar (25,8 Triliun Rupiah), sementara berdasarkan data yang ada, sekitar 87% Bank yang ada di Amerika total asetnya tidak sampai pada angka 1,723 Milyar US Dollar. Artinya, jika misalnya Starbucks benar adalah sebuah Bank, maka bisa diasumsikan bahwa Starbucks akan masuk kedalam 13% Bank terbesar di Amerika.

Sampai disini, mungkin kita bisa pahami kenapa oleh sebagian pengamat bisnis, Starbucks dianggap sebagai Bank Berkedok Kedai Kopi, karena Starbucks yang profile dan core bisnis sesungguhnya adalah Kedai Kopi, ternyata dengan inovasi bisnis yang dilakukannya, Starbucks bisa menghimpun dan mengelola aset dalam bentuk dana mengendap pihak ketiga (milik pelanggannya) dengan jumlah yang sangat fantastik melebihi jumlah rata-rata dana pihak ketiga yang dikelolah oleh Bank besar pada umumnya, sehingga dengan dana tersebut, setidaknya Starbucks mampu menjadi “Bank” bagi perusahaan mereka sendiri yaitu mendanai operasional dan pengembangan bisnisnya dari dana pihak ketiga (deposit pelanggan) layaknya lembaga perbankan.

Share Konten

Opini Lainnya

IMG-20250410-WA0068
Jangan Biarkan Perasaan Ini Mengendalikan Diri Dalam Mencari Rezeki
IMG-20250326-WA0012
Mudik Lancar, Ekonomi Lancar
IMG-20250326-WA0010
Kritik atas Tafsir Tradisional dalam Islam
IMG-20250323-WA0285
Panggung Impostor : Kecemasan HAM menuju Indonesia Emas
IMG-20250319-WA0017
Pemikiran Bung Hatta tentang Al-Quran Dibicarakan di Ma'REFAT INSTITUTE
IMG-20250316-WA0008
APBN 2025: Mengukir Strategi Pertumbuhan Ekonomi di Tengah Tantangan Global
GAYA-HIDUP
Omong Kosong Gaya Hidup Hijau di Bulan Ramadhan.
IMG-20250310-WA0071
Puasa Sebagai Obat Stres Kronis
IMG-20250310-WA0153
Fatimah Al – Fihrih Yang Dirindukan
IMG-20250308-WA0165
Indonesia Tetap Akan Gelap Jika Penguasa Melanggar Konstitusi
Scroll to Top