OPINI

Generasi Cemas dan Pola Asuh Yang Keliru

ruminews.id- Jean Twenge dan timnya melakukan penelitian dan menemukan bahwa terjadi lonjakan depresi dan kecemasan setelah 2010, bertepatan dengan adopsi luas smartphone dan media sosial. Remaja yang menghabiskan lebih dari 5 jam sehari di perangkat digital memiliki kemungkinan depresi yang jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang menghabiskan kurang dari 1 jam. Tingkat depresi berat pada remaja meningkat sekitar 33% dari tahun 2010 hingga 2015. Selain itu, pikiran bunuh diri pada remaja putri meningkat sekitar 65% selama periode yang sama.

Ternyata, waktu layar yang tinggi berhubungan dengan isolasi sosial, gangguan tidur, dan menurunnya aktivitas fisik, yang semuanya merupakan faktor risiko depresi, dimana penurunan interaksi tatap muka berkontribusi pada perasaan kesepian. Dengan kata lain, remaja yang menghabiskan lebih sedikit waktu berinteraksi langsung dengan teman-temannya (bahkan dengan orang tuanya) cenderung memiliki tingkat kebahagiaan lebih rendah. Walaupun ini penelitian lama dan penelitiannya pada remaja Amerika, namun hal ini semakin nampak jelas di saat ini.

Syahril Syam – Pakar Pemberdayaan Diri.

Ada juga laporan dari American Psychological Association, yang merupakan bagian dari survei tahunan “Stress in America”. Fokus laporan tahun 2018 adalah pada generasi Z, mengingat mereka adalah generasi paling muda yang menghadapi tekanan sosial, politik, dan teknologi yang kompleks. Hasilnya adalah 91% responden generasi Z melaporkan mengalami setidaknya satu gejala stres, seperti kecemasan, depresi, atau kelelahan. Generasi Z juga melaporkan tingkat stres rata-rata 5,3 (dari skala 1–10), lebih tinggi dibandingkan generasi milenial (5,0) atau baby boomers (4,1).

Baca Juga:  Puasa Sebagai Obat Stres Kronis

Mungkin itulah sebabnya sehingga Jonathan Haidt, profesor di Stern School of Business di Universitas New York, menulis buku terbaru yang berjudul “The Anxious Generation: How the Great Rewiring of Childhood Is Causing an Epidemic of Mental Illness” (Generasi Cemas: Bagaimana Pengkabelan Ulang Besar-Besaran Masa Kanak-Kanak Menyebabkan Epidemi Penyakit Mental). Sebelum terbitnya buku ini, Jonathan Haidt bersama Greg Lukianoff menulis buku yang berjudul “The Coddling of the American Mind: How Good Intentions and Bad Ideas Are Setting Up a Generation for Failure” (Pemanjaan Pikiran Orang Amerika: Bagaimana Niat Baik dan Ide Buruk Membentuk Generasi yang Gagal).

Begitu banyak orang tua yang memiliki pola pikir tertentu, yang sering dianggap melindungi generasi muda, justru berisiko menciptakan kerentanan mental dan emosi pada mereka. Itulah sebabnya, ada tiga “kebohongan besar” yang Haidt dan Lukianoff anggap berkontribusi pada meningkatnya kecemasan, depresi, dan ketidakmampuan generasi muda untuk menghadapi tantangan. Pertama, apa yang tidak membunuhmu membuatmu lebih lemah. Kalimat ini merupakan modifikasi dari ungkapan terkenal filsuf Friedrich Nietzsche: “What doesn’t kill you makes you stronger.” Dalam buku The Coddling of the American Mind, kalimat ini digunakan secara satir untuk menggambarkan pola pikir di lingkungan modern, terutama di kalangan generasi muda, yang justru menghindari tantangan dan kesulitan karena dianggap dapat merusak atau melemahkan mereka.

Baca Juga:  Mitos Tiga Bagian Otak

Kebohongan ini mengacu pada keyakinan bahwa semua bentuk stres, ketidaknyamanan, atau konflik adalah berbahaya dan harus dihindari. Padahal, menurut Haidt dan Lukianoff, tantangan dan kesulitan yang dikelola dengan baik sebenarnya membantu anak menjadi lebih kuat secara mental dan emosional. Kalau kita terus-menerus melindungi diri dari segala hal yang sulit atau tidak nyaman, kita tidak akan belajar bagaimana mengatasinya. Sama seperti otot yang menjadi lebih kuat saat dilatih, jiwa manusia juga butuh “latihan” dari pengalaman sulit agar lebih tangguh. Makanya, melindungi anak dari semua konflik di sekolah atau mencegah mereka menghadapi kegagalan kecil malah dapat membuat mereka kurang siap menghadapi tantangan lebih besar di masa depan.

Kedua, percayalah pada perasaanmu. Kebohongan ini mengajarkan bahwa emosi atau perasaan seseorang selalu benar dan dapat diandalkan. Haidt dan Lukianoff berpendapat bahwa meskipun perasaan itu penting, mereka tidak selalu mencerminkan kenyataan dan seringkali dipengaruhi oleh distorsi kognitif (misalnya, berpikir secara hitam-putih atau memperbesar masalah kecil). Kadang, apa yang kita rasakan tidak sejalan dengan fakta. Kalau kita selalu mengikuti perasaan tanpa mengevaluasi kebenarannya, kita bisa terjebak dalam kecemasan atau asumsi yang salah. Jadi ketika seorang anak merasa bahwa seorang dosen “membencinya” hanya karena mendapat kritik, maka sebagai orang tua, kita mesti mengajarkan kepada anak bahwa kritik tersebut dimaksudkan untuk membantu dirinya berkembang.

Ketiga, hidup adalah pertempuran antara orang baik dan orang jahat. Kebohongan ini mengajarkan pandangan dunia yang terlalu sederhana: bahwa orang atau kelompok hanya bisa menjadi “baik” atau “jahat.” Haidt dan Lukianoff menekankan bahwa kenyataannya lebih kompleks, dan pandangan seperti ini mendorong polarisasi, konflik, dan ketidakmampuan untuk berdialog. Tidak semua orang atau kelompok yang berbeda pendapat dengan kita itu “jahat.” Dunia tidak hitam-putih, dan penting untuk memahami niat serta perspektif orang lain sebelum menghakimi. Ajarkan anak agar mau mendengarkan pandangan orang lain dengan pikiran terbuka agar bisa membantu mereka memahami situasi secara lebih mendalam.

Baca Juga:  Momentum Pergantian Tahun dan Resolusi Tahun 2025

Ketiga kebohongan ini sangat relevan dengan generasi muda, terutama Generasi Z, karena mereka tumbuh di era media sosial dan lingkungan yang seringkali menekankan perlindungan berlebih (safetyism). Pola pikir seperti ini dapat membuat mereka lebih rentan terhadap kecemasan, depresi, dan konflik sosial. Mereka juga lebih terpapar pada dunia yang penuh dengan informasi dan opini yang bertolak belakang, yang bisa memperburuk kecemasan dan perasaan terisolasi jika mereka tidak diajarkan cara berpikir kritis atau menghadapi ketidakpastian dengan lebih sehat. Dengan pola pikir yang mengedepankan perlindungan berlebih ini, mereka menjadi tidak belajar keterampilan mental yang diperlukan untuk mengatasi kegagalan, kritik, atau ketidakpastian – yang justru esensial untuk pertumbuhan pribadi dan ketangguhan mental anak.

@pakarpemberdayaandiri

Ayo Gabung Komunitas Pakar Pemberdayaan Diri Untuk Pemograman Pikiran dan Tubuh dengan klik: https://tribelio.page/syahril-syam

#thesecretofattractorfactor
#changelimitingbeliefs #pakarpemberdayaandiri #SelfAwarenessTransformation

Share Konten

Opini Lainnya

IMG-20250410-WA0068
Jangan Biarkan Perasaan Ini Mengendalikan Diri Dalam Mencari Rezeki
IMG-20250326-WA0012
Mudik Lancar, Ekonomi Lancar
IMG-20250326-WA0010
Kritik atas Tafsir Tradisional dalam Islam
IMG-20250323-WA0285
Panggung Impostor : Kecemasan HAM menuju Indonesia Emas
IMG-20250319-WA0017
Pemikiran Bung Hatta tentang Al-Quran Dibicarakan di Ma'REFAT INSTITUTE
IMG-20250316-WA0008
APBN 2025: Mengukir Strategi Pertumbuhan Ekonomi di Tengah Tantangan Global
GAYA-HIDUP
Omong Kosong Gaya Hidup Hijau di Bulan Ramadhan.
IMG-20250310-WA0071
Puasa Sebagai Obat Stres Kronis
IMG-20250310-WA0153
Fatimah Al – Fihrih Yang Dirindukan
IMG-20250308-WA0165
Indonesia Tetap Akan Gelap Jika Penguasa Melanggar Konstitusi
Scroll to Top