ruminews.id – Di setiap tanggal 25 November, kalender seolah menunjuk sebuah angka yang terukir emas. Hari Guru Nasional. Panggung megah telah disiapkan, lampu sorot menyala terang benderang, dan karpet merah terhampar seolah menyambut para dewa pengetahuan. Di atas podium, pidato-pidato manis mengalir laksana madu, memuji ketulusan, kesabaran, dan pengabdian tanpa batas. Bunga-bunga segar diserahkan, senyum-sumpai difoto, dan tepuk tangan meriah bergemuruh di ruangan ber-AC. Sebuah pertunjukan tahunan yang selalu sukses, sebuah drama yang skenarionya sudah ditulis rapi: memuja sang pahlawan tanpa tanda jasa.
Tetapi, di balik tirai megah itu, di sisi lain panggung yang tak pernah tersorot kamera, sebuah narasi lain sedang berlangsung. Sebuah tragedi yang bisikannya serak oleh debu kegersangan dan tangis yang tertelan.
Di sanalah kita menemukan mereka, para guru yang namanya hanya tercatat di buku absen sekolah pelosok. Mereka adalah arwah-arwah pengetahuan yang berkeliaran di antara dinding-dinding retak dan atap bocor, berjuang menyalakan lilin di tengah kegelapan literasi. Gaji mereka sering tertunda berbulan-bulan, sebuah penantian yang lebih melelahkan daripada mengajarkan huruf kepada anak-anak yang sulit fokus. Pemerintah, sang sutradara besar dalam drama ini, seolah sengaja memejamkan mata rapat-rapat, pura-pura tuli terhadap gerutuan perut yang kelaparan dan desakan hutang yang menggunung. Bagi mereka, guru-guru ini hanyalah figuran yang kehadirannya tidak terlalu penting selama panggung utama tetap berkilau.
Lalu, ada para honorer, para pejuang abadi yang diikat kontrak semu. Bertahun-tahun mereka mengabdi, menanam ilmu di benak ratusan bahkan ribuan siswa, dengan harapan suatu hari akan diangkat menjadi bagian dari keluarga besar. Namun, musim semi bagi mereka tak kunjung tiba. Mereka terjebak dalam musim dingin kepastian yang tak berujung, menjadi kuli kerja intelektual dengan upah yang tak layak. Bianglala waktu berputar, presiden berganti, tapi nasib mereka tetap menggantung, seperti benang sutra yang siap putus.
Ironi semakin menjadi-jadi ketika tinta pengabdian disalahartikan sebagai tinta kriminal. Seorang guru yang menegur siswanya karena berbuat salah, justru berhadapan dengan orang tua yang murka. Laporan polisi menjadi senjata murahan, dan ruang guru yang seharusnya sakral, berubah menjadi ruang interogasi. Kriminalisasi ini adalah luka yang paling dalam. Tangan yang seharusnya menulis ilmu dan kebaikan, justru dikepal oleh kebencian dan tuduhan. Lebih parah lagi, ketika seorang guru dipecat oleh pemerintahnya sendiri entah karena terlalu vokal menegur kecurangan atau karena mendidik siswa dengan cara yang dianggap “tidak sesuai standar” padahal ia sedang menjalankan tugas mulianya. Ia diberhentikan karena terlalu menjadi guru.
Mereka dipukul, dibully, dan direndahkan martabatnya oleh orang tua yang seharusnya menjadi mitra, atau bahkan oleh siswa yang seharusnya mereka bimbing. Kekerasan fisik dan verbal ini menjadi mimpi buruk yang nyata, sebuah pengkhianatan terhadap kepercayaan yang telah dibangun bertahun-tahun.
Dan di tengah semua deraan ini, kita kembali lagi ke panggung utama. Peringatan Hari Guru Nasional hanyalah seremonial belaka, sebuah upacara tanpa jiwa, sebuah evaluasi yang hanya menghitung jumlah acara, bukan mengukur kedalaman luka di dada para guru. Tidak ada sesi mendengar, tidak ada ruang untuk keluh kesah. Hanya klapping hands, tawa palsu, dan janji-janji yang akan terlupakan besok paginya.
Frasa “Guru Tanpa Tanda Jasa” kini terasa begitu mengerikan. Ia bukan lagi sebuah pujian yang melambungkan derajat, melainkan sebuah diagnosis yang menyakitkan atas sebuah kondisi yang dipbiarkan. Ia adalah pembenaran atas ketidakadilan. “Ya, mereka memang tak pantas dapat jasa,” bisik narasi itu. Seolah-para guru telah menandatangani kontrak tak tertulis untuk menderita.
Ketika tepuk tangan mereda dan bunga-bunga mulai layu, para pahlawan tanpa mahkota itu akan kembali ke realitanya. Kembali ke gaji yang belum cair, ke kontrak yang akan segera habis, ke rasa takut dikriminalisasi, dan ke luka yang mungkin tak akan pernah sembuh. Panggung telah usai, tetapi penderitaan mereka masih terus berlanjut, sepanjang tahun, hingga panggung megah itu dibangun kembali setahun kemudian, untuk menayangkan drama yang sama, dengan penderitaan yang sama pula.
Selamat Hari Guru. Sebuah ucapan yang terasa pahit, seperti meminum kopi tanpa gula di pagi yang dingin.