ruminews.id – Di tengah eskalasi konflik Israel-Palestina, muncul kembali narasi viral dari Felix Siauw, tokoh publik yang gemar memadukan dakwah dan geopolitik. Dalam sebuah pernyataannya di media sosial, ia menyebut bahwa Iran dan Israel “dulu bersahabat, maka jangan heran jika hari ini mereka berpura-pura bermusuhan”. Dengan nada penuh curiga, ia mengklaim bahwa perang Iran terhadap Israel hanyalah sandiwara politik, bukan sikap ideologis.
Namun, benarkah demikian?
Untuk menjawabnya, kita perlu membongkar logika yang terbalik, sejarah yang dipotong, dan kecurigaan yang disulap menjadi fakta tanpa dasar oleh Felix Siauw.
Dalam Narasinya, Felix mengajak audiensnya untuk mengingat bahwa hubungan bangsa Persia dan bangsa Yahudi sudah terjalin sejak zaman Cyrus the Great (Koresh Agung), pendiri Kekaisaran Persia Achaemenid pada abad ke-6 SM.
Cyrus dikenang dalam sejarah Ibrani (dan bahkan dalam Kitab Yesaya) sebagai raja non-Yahudi yang membebaskan bangsa Yahudi dari perbudakan Babilonia, lalu mengizinkan mereka kembali ke Yerusalem untuk membangun kembali Bait Suci. Tidak berlebihan jika orang Yahudi menyebut Cyrus sebagai “Mesias non-Yahudi”. Sejak saat itu, bangsa Persia dan Yahudi hidup berdampingan dalam berbagai fase sejarah, dari kekaisaran hingga masa Kekhalifahan Islam. Maka wajar jika dalam sejarah panjang Iran modern (terutama sebelum 1979) terdapat jejak kedekatan diplomatik dan ekonomi antara Teheran dan Tel Aviv.
Tapi sejarah tidak selalu berjalan dalam alur garis lurus. Kedekatan masa lalu tidak berarti kelanjutan di masa kini. Dan di sinilah kesalahan logika Felix mulai terlihat.
Felix benar pada satu hal, yakni bahwa Iran pernah bersahabat dengan Israel. Tapi Iran yang mana?
Itu adalah Iran di bawah Shah Mohammad Reza Pahlavi, seorang raja otoriter yang naik takhta dengan bantuan CIA dan Mossad pada 1953 setelah menggulingkan Perdana Menteri demokratis, Mohammad Mossadegh. Rezim Shah dikenal sebagai boneka Amerika Serikat dan sekutu utama Israel di kawasan. Mereka menjalin kerja sama ekonomi, militer, dan intelijen secara terbuka.
Namun semua itu berakhir pada Revolusi Islam 1979 yang dipelopori dan dinahkodai oleh Imam Khomeini. Saat itu, jutaan rakyat Iran menggulingkan monarki dan mendirikan Republik Islam yang anti-Zionis secara konstitusional. Sejak saat itu, Iran menyebut Israel sebagai “rezim ilegal yang menjajah tanah Palestina”, memutus semua hubungan diplomatik, dan bahkan mengubah Kedutaan Israel di Teheran menjadi Kedutaan Palestina yang merupakan satu-satunya di dunia pada masa itu.
Jadi menyamakan Iran pasca-1979 dengan Iran era Shah adalah bentuk penyederhanaan sejarah yang fatal. Hal Itu seperti menyamakan Indonesia jajahan Belanda dengan Republik Indonesia, hanya karena dulu pernah dijajah.
Kalau kita teliti dalam membaca argumen Felix Siauw, tampak jelas adanya logical fallacy:
_“Karena dulu Iran dan Israel bersahabat, maka sekarang mereka pura-pura bermusuhan.”_
Ini adalah contoh non sequitur fallacy atau kesimpulan yang tidak mengikuti premis. Jika argumen ini sah, maka kita juga bisa berkata:
_“Karena dulu Amerika bantu Uni Soviet lawan Nazi, berarti sekarang mereka masih sekutu rahasia.”_
Lagi pula, jika Iran dan Israel memang berpura-pura bermusuhan, maka ada banyak hal yang mustahil dijelaskan oleh si Felix diantaranya; mengapa ilmuwan nuklir Iran seperti Mohsen Fakhrizadeh dibunuh Mossad? Mengapa fasilitas nuklir Iran disabotase berkali-kali oleh Israel? Mengapa Iran mendukung dan mempersenjatai Hamas, Jihad Islam, dan Hizbullah (tiga aktor utama perlawanan bersenjata terhadap Israel), Mengapa Iran meluncurkan lebih dari 300 rudal dan drone ke Israel pada April 2025 dalam serangan terbuka yang memicu perang regional?
Bahkan kelompok Sunni seperti Hamas dan Jihad Islam Palestina secara terbuka mengakui dukungan Iran sebagai dukungan paling signifikan dalam menghadapi Israel. Jadi jika Iran dan Israel itu “sekutu rahasia,” maka dunia ini butuh teori fiksi yang lebih waras.
Menurut saya, narasi Felix secara implisit menebarkan semacam kecurigaan sektarian bahwa karena Iran Syiah, maka pasti agendanya tersembunyi. Ini bukan hanya berbahaya, tapi juga memperkecil makna perjuangan Palestina sebagai isu kemanusiaan universal.
Ironisnya, justru banyak negara mayoritas Sunni di kawasan (termasuk beberapa negara Teluk) yang menormalisasi hubungan dengan Israel dan membuka jalur dagang, bukan perlawanan. Tapi mereka luput dari tuduhan “bersandiwara.” Kenapa? Karena kita memang lebih mudah curiga pada yang berbeda mazhab, bukan berbeda prinsip.
Kalau logika Felix dipakai terus, maka bisa saja kita berkata:
_*“Karena dulu Felix non-muslim, berarti sekarang dia berkomplotan dengan musuh Islam yg non-muslim.”*_
Lucu??? Ya!!!… Masuk akal? Jelas tidak!!!.
Kesimpulannya, Iran memang bukan negara sempurna tanpa masalah. Tapi dalam isu Palestina, rekam jejaknya lebih nyata daripada banyak pihak yang hanya bicara soal “umat” tapi bungkam saat Gaza dibombardir.
Kita boleh mengkritik siapa pun. Tapi mari tetap waras dalam logika, jujur dalam membaca sejarah, dan adil dalam berpihak.
Karena membela Palestina bukan soal bendera, bukan soal mazhab. Tapi soal keberanian berdiri bersama yang tertindas, tak peduli dari mana datangnya dukungan.
[Erwin]