ruminews.id – Setiap awal tahun, kita seperti melakukan ritual yang sama. Hitungan mundur, kembang api, ucapan selamat, lalu harapan-harapan baru yang ditulis dengan rapi meski sering berakhir berantakan. Tetapi jarang sekali kita berhenti sejenak untuk bertanya: mengapa tahun baru harus dimulai di bulan Januari? Apakah itu ketentuan alam semesta, atau hanya kebiasaan yang kita terima tanpa berpikir?
Jawabannya mengejutkan sekaligus membumi… Tahun baru dimulai Januari karena keputusan politik!.
Dulu, jauh sebelum kalender tergantung rapi di dinding rumah, bangsa Romawi memulai tahun pada bulan Maret. Masuk akal. Maret adalah awal musim semi, masa tanah kembali subur, tentara bisa berangkat perang, dan kehidupan bergerak lagi setelah dingin panjang. Bahkan jejaknya masih kita pakai sampai sekarang. September berarti bulan ketujuh, Oktober bulan kedelapan, November bulan kesembilan, Desember bulan kesepuluh. Itu semua hanya masuk akal kalau Maret adalah bulan pertama.
Lalu kenapa Januari tiba-tiba maju ke depan?
Pada abad ke-2 sebelum Masehi, negara Romawi menghadapi masalah klasik yang selalu dihadapi kekuasaan yaitu urusan administrasi dan perang. Para pejabat negara harus segera dilantik agar bisa memimpin pasukan dan menjalankan pemerintahan. Jika menunggu Maret, negara bisa terlambat mengambil keputusan penting. Maka Senat Romawi memutuskan pejabat dilantik 1 Januari. Pelan tapi pasti, awal tahun ikut berubah.
Jadi, Januari bukan dipilih karena paling suci, paling kosmis, atau paling filosofis. Januari dipilih karena paling praktis.
Beberapa abad kemudian, Julius Caesar merapikan kalender yang sudah semrawut. Lalu Gereja Barat mengadopsinya. Setelah itu, Eropa menyebarkannya ke seluruh dunia lewat perdagangan dan kolonialisme. Maka hari ini, satu dunia serempak menghitung waktu dengan cara yang sama, bukan karena semua sepakat secara filsafat, tapi karena sejarah berjalan ke arah itu.
Di titik ini, kita belajar satu hal penting bahwa waktu bukan hanya urusan alam, tapi juga urusan kekuasaan.
Matahari memang terbit dan tenggelam tanpa minta izin. Tapi kapan kita menyebutnya “awal tahun”, “awal bulan”, atau “hari libur nasional”, itu sepenuhnya keputusan manusia. Kalender bukan sekadar alat hitung hari, melainkan peta cara kita menata hidup bersama.
Islam sendiri memberi pelajaran serupa. Tahun Hijriah dimulai bulan Muharram, padahal peristiwa hijrah Nabi terjadi di Rabiul Awal. Artinya, bahkan dalam agama, awal tahun adalah hasil pertimbangan rasional dan sosial, bukan sekadar kronologi peristiwa.
Maka, saat kita merayakan tahun baru, mungkin pertanyaannya bukan hanya “target apa tahun ini?”, tapi juga “siapa yang menentukan ritme hidup kita?” Apakah kita sepenuhnya sadar, atau sekadar ikut arus kalender?
Akhirnya, Januari hanyalah nama. Yang membuatnya bermakna bukan tanggalnya, tapi kesadaran kita mengisi waktu. Sebab waktu yang sama bisa terasa panjang bagi yang tertekan, dan terasa singkat bagi yang menikmati hidup.
Kalender boleh seragam, jam boleh sinkron, tapi makna waktu…. itu urusan kita masing-masing. Dan di situlah filsafat diam-diam bekerja, tanpa perlu kembang api.
[Erwin]