ruminews.id – Indonesia adalah negeri yang diuji oleh luka-luka alam dan waktu. Dari gempa yang meretakkan bumi hingga banjir yang menenggelamkan harapan, bangsa ini kerap diguncang oleh bencana yang datang tanpa aba-aba. Namun, dari setiap guncangan itu, selalu lahir satu kekuatan yang tak pernah runtuh: kesadaran kolektif dan kepedulian sosial.
PeduliNomic bukan sekadar istilah, melainkan denyut baru dalam nadi kebangsaan, sebuah ikhtiar menjadikan empati sebagai fondasi ekonomi dan kebijakan. Ia tumbuh dari kesadaran bahwa ketika negara terluka, rakyat saling merangkul; ketika sistem terguncang, solidaritas justru menguat. Kepedulian bukan lagi reaksi sesaat, melainkan modal sosial yang dapat dikelola, diarahkan, dan diperluas demi keberlanjutan bangsa.
Indonesia hari ini tidak sedang baik-baik saja. Di saat sebagian wilayah bersiap menyambut pergantian tahun dengan cahaya dan dentum euforia, sebagian lain justru masih berkabung dalam sunyi. Bencana yang melanda sejumlah daerah di Sumatera banjir, longsor, dan bencana hidrometeorologi telah merenggut rasa aman, mengoyak ruang hidup, dan meninggalkan duka yang belum kering. Di tanah yang basah oleh air mata itu, kita diingatkan bahwa bangsa ini sedang diuji, bukan hanya oleh alam, tetapi oleh kepekaan nuraninya sendiri.
Dalam setiap bencana, kita menyaksikan ekonomi gotong royong bekerja secara alami: dapur umum berdiri tanpa komando, relawan bergerak tanpa pamrih, bantuan mengalir melintasi sekat politik dan identitas. Inilah ekonomi kepedulian PeduliNomic yang lahir dari akar budaya bangsa Indonesia sendiri.
Dari peristiwa itulah PeduliNomic menemukan maknanya yang paling nyata.
PeduliNomic adalah kesadaran kolektif bahwa kepedulian sosial harus menjadi dasar dalam setiap keputusan publik, termasuk dalam cara kita merayakan sesuatu. Ketika bencana hadir, ekonomi kepedulian tumbuh secara alami: bantuan bergerak, solidaritas menyatu, dan empati menjadi bahasa bersama. Namun PeduliNomic tidak berhenti pada gerakan spontan; ia menuntut keberlanjutan dalam bentuk kebijakan dan sikap resmi negara.
Di sinilah peran pemerintah daerah dan negara menjadi penting. Larangan penggunaan petasan dan kembang api dalam perayaan Tahun Baru yang dikeluarkan secara resmi oleh sejumlah pemerintah daerah seperti Pemerintah Kota Makassar, Pemerintah Provinsi Aceh, Pemerintah Provinsi Bali serta imbauan dan kebijakan nasional dari Mabes Polri, bukanlah bentuk pembatasan kebahagiaan, melainkan ekspresi empati negara kepada rakyatnya sendiri. Regulasi tersebut adalah simbol bahwa negara memilih untuk menundukkan euforia demi menghormati duka.
Euforia Tahun Baru yang hiruk-pikuk tidak sejalan dengan kondisi bangsa hari ini. Dentum petasan tidak akan mampu menenggelamkan suara tangis korban bencana, justru berisiko mengaburkan rasa kebersamaan dan solidaritas. Dalam konteks inilah PeduliNomic bekerja: menggeser pusat perayaan dari gemerlap sesaat menuju kesadaran bersama bahwa ada saudara sebangsa yang sedang kehilangan rumah, harapan, bahkan anggota keluarga.
PeduliNomic juga memiliki relevansi strategis dalam dinamika politik dan pemerintahan daerah. Ia menjadi fondasi moral dalam percepatan agenda daerah, termasuk dalam momentum pemilihan kepala daerah. Kepemimpinan yang lahir dari PeduliNomic bukan sekadar pandai mengelola seremonial dan popularitas, tetapi mampu membaca situasi kebangsaan secara utuh, tahu kapan harus merayakan, dan tahu kapan harus menahan diri.
Ketika pemerintah daerah berani mengambil sikap melarang petasan, sejatinya mereka sedang membangun pendidikan sosial: bahwa empati adalah kebijakan, dan kepedulian adalah bentuk tertinggi dari kepemimpinan. Inilah wajah demokrasi yang matang di mana keputusan tidak semata-mata berpihak pada mayoritas yang bersenang-senang, tetapi juga pada minoritas yang sedang berduka.
Pada akhirnya, PeduliNomic adalah tentang memilih menjadi bangsa yang berperasaan. Bahwa Indonesia tidak hanya diikat oleh kalender dan pergantian tahun, tetapi oleh rasa senasib dan sepenanggungan. Selama Sumatera masih berduka, selama luka-luka bencana belum sepenuhnya pulih, maka menahan euforia adalah bentuk hormat, dan kepedulian adalah perayaan yang paling bermakna.