ruminews.id – MAKASSAR, 28 Oktober 2025 — Di tengah hiruk-pikuk peringatan Hari Sumpah Pemuda, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Gowa menggemakan satu seruan yang mengguncang ruang publik: “Interupsi Rezim.” Sebuah gerakan yang tidak hanya menuntut perubahan kebijakan, tetapi juga menegaskan bahwa mahasiswa masih menjadi nadi nurani bangsa.
Melalui pernyataan sikap yang dirilis pada 26 Oktober 2025, PMII Gowa menilai bahwa arah pemerintahan saat ini telah menyimpang dari cita-cita konstitusi. Mereka menyoroti praktik penyalahgunaan kekuasaan, komersialisasi pendidikan, ketimpangan ekonomi, serta lemahnya penegakan hukum yang kian memperdalam jurang keadilan sosial.
“Kami berdiri bukan untuk menentang negara, tapi untuk mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa moral akan melahirkan penderitaan. Interupsi Rezim adalah bentuk cinta kami terhadap bangsa ini,” ujar Abdullah Ketua PMII Gowa dalam orasinya di hadapan kader dan simpatisan.
Gerakan yang Tumbuh dari Nurani Kolektif
PMII Gowa menegaskan bahwa aksi ini merupakan bentuk tanggung jawab moral terhadap kondisi rakyat kecil yang kerap diabaikan. Sepuluh tuntutan pun disuarakan, mulai dari penghentian program MBG, penegakan HAM, hingga penghapusan praktik komersialisasi pendidikan.
Gerakan ini juga menyoroti pentingnya keberpihakan negara terhadap buruh, petani, pelajar, dan seluruh elemen masyarakat yang selama ini hidup dalam tekanan sistem yang tidak adil.
“Kami tidak akan berhenti bersuara sebelum keadilan benar-benar berpihak pada rakyat. Mahasiswa lahir dari rahim penderitaan sosial, dan di situlah tanggung jawab moral kami tumbuh,” ungkap Irwanto Jenderal Lapangan Aksi “Interupsi Rezim” dengan tegas.
Menurutnya, aksi ini adalah bentuk nyata dari dakwah sosial mahasiswa yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah — menegakkan keadilan dengan kesadaran spiritual dan keberanian intelektual.
Mengawal Demokrasi, Menggugah Kesadaran
PMII Gowa menegaskan bahwa Interupsi Rezim bukanlah gerakan yang menolak negara, melainkan gerakan penyadaran terhadap moralitas kekuasaan. Mahasiswa, kata mereka, tidak boleh menjadi penonton di tengah krisis nurani bangsa.
Dalam pandangan mereka, perjuangan mahasiswa tidak berhenti di ruang kelas, tetapi harus hidup di jalanan, di antara suara rakyat yang nyaris tak terdengar.
Gerakan ini menjadi pengingat bahwa demokrasi bukan sekadar sistem politik, melainkan napas keadilan yang harus dijaga. Dan selama ketidakadilan masih ada, mahasiswa akan tetap berdiri — menginterupsi kekuasaan yang lupa pada rakyatnya.