ruminews.id – Di pelosok negeri, antrean kendaraan di SPBU kini menjelma seperti barisan panjang kesabaran yang diuji. Sopir angkot menunggu dengan wajah gusar, nelayan termenung di perahu yang tak bisa melaut, dan petani terhenti langkahnya karena traktor yang tak lagi bisa menyala. Kelangkaan BBM di daerah-daerah bukan lagi cerita pinggiran, tetapi realitas pahit yang melilit nadi kehidupan masyarakat.
Kebijakan energi yang dikeluarkan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, dinilai banyak kalangan sebagai biang dari situasi ini. Alih-alih menghadirkan keadilan energi, sejumlah regulasi dan distribusi BBM justru menimbulkan ketimpangan: pasokan di kota besar tetap terjamin, sementara daerah-daerah harus menanggung kelangkaan. Di sini, muncul ironi: kebijakan yang seharusnya mengalirkan energi untuk membangun bangsa, justru menguras energi rakyat dalam antrean panjang yang tak berkesudahan.
Sesungguhnya, BBM bukan sekadar komoditas. Ia adalah denyut nadi pergerakan ekonomi rakyat kecil. Ketika ketersediaannya tersendat, seluruh roda kehidupan ikut terseok: harga kebutuhan pokok melonjak, biaya transportasi meningkat, dan produktivitas masyarakat menurun. Celakanya, yang paling dulu merasakan dampak adalah mereka yang paling rapuh nelayan di pesisir, petani di ladang, buruh angkutan di jalanan.
Kritik pun mengemuka: apakah kebijakan ini lahir dari ruang dengung istana yang terputus dari suara rakyat? Ataukah sekadar kalkulasi angka-angka ekonomi yang mengabaikan denyut sosial di lapangan? Bahlil, dengan segala reputasi sebagai “anak rakyat yang berhasil,” kini berhadapan dengan paradoks: rakyat yang ia wakili justru menanggung akibat dari kebijakan yang ia tanda tangani.
Opini publik tidak menolak efisiensi energi, tidak pula menentang reformasi subsidi. Yang ditolak adalah ketidakadilan distribusi dan ketidakpekaan terhadap daerah-daerah yang selama ini sering terlupakan. Sebab, energi bukan hanya tentang angka di neraca negara, melainkan tentang kehidupan yang layak di setiap sudut nusantara.
Pada akhirnya, kelangkaan BBM ini menjadi cermin: kebijakan energi harus kembali menempatkan rakyat sebagai pusatnya, bukan sekadar angka dalam laporan. Jika tidak, antrean panjang di SPBU akan terus menjadi potret muram negeri ini negeri yang kaya energi, tetapi rakyatnya justru hidup dalam kehausan bahan bakar.