OPINI

Kampus Megah, Intelektualitas yang Rapuh

ruminews.id – Di tengah kota Makassar, berdiri sebuah kampus megah. Pilar-pilarnya menjulang, arsitekturnya gagah, catnya berkilau. Namun di dalamnya, segala yang bernama kebebasan, intelektualitas, dan keberanian justru merapuh. Di balik kemegahan bangunan, ada kehampaan: belajar hanya soal absen, organisasi dicurigai, diskusi ditakuti, suara mahasiswa dibungkam.

Kampus, yang seharusnya menjadi rahim peradaban dan ladang subur bagi lahirnya gagasan, perlahan menjelma penjara yang membungkam. Ruang organisasi dibatasi, diskusi dan kajian intelektual dihapus seolah menjadi virus yang menakutkan. Akademia kehilangan denyutnya, hanya tersisa rutinitas kaku bernama absen dan presentasi kelompok yang miskin esensi.

Ironisnya, organisasi yang seharusnya menjadi lidah perlawanan justru kehilangan orientasi. Mereka bagai perahu tanpa kompas, terombang-ambing dalam arus birokrasi kampus, lupa bahwa sejarah mahasiswa adalah sejarah keberanian melawan ketidakadilan. Sementara itu, mahasiswa lain larut dalam apatisme: lebih nyaman menjadi penonton daripada pelaku, lebih rela menjadi angka dalam presensi daripada suara yang menuntut perubahan.

Lebih parah lagi, tenaga pengajar yang seharusnya menyalakan api pengetahuan justru banyak yang hadir tanpa ruh. Alih-alih menginspirasi dan menyalakan api intelektual, banyak yang hanya hadir sebagai pengisi waktu, mengulang slide lama, menjejali mahasiswa dengan formalitas, seakan kuliah hanya rutinitas administratif, bukan proses pencerahan. Pendidikan akhirnya kehilangan makna, tinggal kulit tanpa isi, sekadar prosedur administratif menuju ijazah.

Inilah wajah kampus kita hari ini: represif pada gerakan, kaku pada organisasi, kerdil pada kebebasan. Megah di bangunan, rapuh di pemikiran. Juga membunuh jiwa bangsa. Sebab, dari ruang-ruang diskusi yang dibungkam itulah seharusnya lahir pemikiran kritis, dari organisasi yang dipersempit itulah terbentuk kepemimpinan yang visioner. Jika semua itu dihapuskan, maka kampus hanya akan melahirkan generasi yang patuh, bukan generasi yang berpikir; generasi yang tunduk, bukan generasi yang berani.

Pertanyaannya sederhana:

Apakah kita rela kampus menjadi pabrik gelar tanpa jiwa?

Apakah kita akan terus diam ketika ruang belajar, ruang berorganisasi, dan ruang berpikir kita dilucuti?

Jika mahasiswa diam, maka sejarah akan mencatat kita sebagai generasi yang kalah sebelum berjuang.

Share Konten

Opini Lainnya

b4f69ab8-008d-455c-b4e2-926177510d12
“BBM Langka, Kepercayaan Pun Hilang: Potret Rapuhnya Tata Kelola Energi Indonesia”
8daf8f8b-8c70-4990-a359-9ad689df4e81
"Bitcoin adalah mainan"?
IMG_20250916_151706
Mengenal Khalid Basalamah yang Mengaku "Posisi Kami Ini Korban"
IMG_20250915_180202
SAL 200 Triliun: Mazhab Keynesian atau Monetaris?
b160bb8a-20e0-4d0a-b7ac-37991fbf85e6
Indonesia dan Nepal: Dua Cermin Kekuasaan yang Retak
IMG_6007
Reshuffle Sri Mulyani Antara Tekhnokrasi dan Geopolitik.
IMG_6005
Istana Gelar Teka-Teki: Menpora Baru, Antara Misteri dan Spekulasi
9cf14152-ee2b-42d7-a2f1-a67573634f65
DARI ISU BUBARKAN DPR KE RESHUFFLE KABINET: DEMOKRASI DALAM PANGGUNG REKAYASA
IMG_6002
Tumbangnya Sri Mulyani: Ketika Poros Dunia Bergeser dari IMF ke BRICS
4bb97845-0edb-49e4-8a6b-00a1b6bf2d27
DEVIL’S ADVOCATE’ ARIEF BUDIMANTA
Scroll to Top