ruminews.id – Di panggung politik tanah air, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali memperlihatkan wajah lamanya: rapuh, retak, dan terbelah. Muktamar yang semestinya menjadi rumah musyawarah dan titik temu gagasan, justru melahirkan dua arus kepemimpinan. Seperti kaca yang pecah, setiap pecahannya menyimpan pantulan, tapi tak lagi utuh menyajikan wajah aslinya. Dualisme ini bukan sekadar persoalan kursi kepemimpinan, melainkan cermin bahwa PPP tengah dilanda perpecahan, gamang menentukan arah di tengah gelombang politik yang kian deras.
Puncaknya terlihat jelas pada Muktamar Ancol. Dari forum yang semestinya mempersatukan, lahirlah dua nama: Mardiono dan Agus Suparmanto. Dua sosok ini kini berdiri berhadap-hadapan, masing-masing mengklaim sebagai pewaris sah kepemimpinan. Bagi para kader, situasi ini ibarat kapal yang terombang-ambing dengan dua nakhoda, sementara gelombang besar sudah menanti di depan. Persatuan yang dulu menjadi nama sekaligus janji, kini justru terancam jadi ironi.
Perpecahan ini meninggalkan jejak getir. Bukan hanya soal siapa yang berhak memimpin, tetapi soal bagaimana publik memandang PPP: apakah masih relevan sebagai kendaraan politik umat, atau hanya tersisa sebagai simbol yang kehilangan ruh persatuannya. Dalam bayangan publik, PPP tak lagi hadir sebagai satu barisan, melainkan dua wajah yang saling bertolak belakang.
Sementara itu, di sudut panggung lain, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tampak menari dengan langkah yang lebih ringan. Partai muda ini justru menampilkan soliditasnya, menyambut derap baru dari generasi yang mayoritas masih menyimpan api idealisme. Politisi muda berdatangan, membawa gairah segar, seakan menegaskan bahwa masa depan politik tidak hanya milik mereka yang telah kenyang asam garam, melainkan juga milik mereka yang masih haus akan perubahan.
Kontras ini melahirkan paradoks: PPP, partai tua dengan akar sejarah panjang, justru tersandung pada perbedaan internal yang menyesakkan. Sedangkan PSI, partai yang masih seumur jagung, justru meneguhkan diri dengan barisan yang semakin kompak. Politik kita, dalam ironi yang tajam, memperlihatkan bagaimana usia tua tak selalu berarti bijak, dan usia muda tak selalu berarti rapuh.
Pada akhirnya, publiklah yang akan menilai. Apakah PPP mampu merajut kembali sobekan kain persatuannya, ataukah ia akan larut dalam sejarah sebagai partai yang tak sanggup mengatasi egonya sendiri. Dan apakah PSI mampu membuktikan bahwa energi muda yang mereka gembar-gemborkan bisa benar-benar mengubah wajah politik bangsa, atau hanya sekadar kembang api yang indah sesaat lalu padam.
Politik Indonesia kini bagai panggung drama: di satu sisi, sebuah rumah tua yang diguncang retakan; di sisi lain, sebuah rumah baru yang sedang ramai dibangun dengan tangan-tangan muda. Pertanyaannya: rumah mana yang kelak akan kokoh berdiri menghadapi badai zaman?