OPINI

Stres Kronis : Masalah Besar Bagi Gen Z Secara Global

ruminews.id – Generasi Z atau Gen Z biasanya didefinisikan sebagai kelompok yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Itu berarti pada tahun 2025, usia mereka berada di rentang 13 sampai 28 tahun. Dengan kata lain, kelompok ini mencakup remaja yang masih duduk di bangku SMP dan SMA, mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan tinggi, hingga para pekerja muda yang baru memulai karier profesional mereka. Masa usia ini sebenarnya adalah periode penting dalam hidup, karena banyak diwarnai dengan pencarian jati diri, penentuan arah masa depan, dan tantangan untuk menyeimbangkan tuntutan pribadi, akademis, maupun pekerjaan.

Menurut Deloitte Global Survey 2022, hampir setengah dari Gen Z, yaitu sekitar 46%, melaporkan bahwa mereka merasa stres atau cemas pada sebagian besar waktu dalam sehari. Angka ini bahkan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan generasi Milenial (usia 29–40-an tahun) yang mencatat angka 45%. Sekilas perbedaannya terlihat tipis, tetapi penting dicatat bahwa Gen Z adalah kelompok yang masih berada di tahap awal perjalanan hidup dewasa, sehingga angka stres yang tinggi ini memberi sinyal adanya tekanan besar sejak usia muda. Yang lebih mengkhawatirkan, survei ini tidak hanya menggambarkan stres sesaat, melainkan stres kronis, yaitu kondisi ketika tekanan mental berlangsung terus-menerus, bukan hanya muncul sekali-sekali. Stres kronis dapat memengaruhi kesehatan fisik, daya pikir, dan emosi secara mendalam. Dengan kata lain, banyak anak muda dari Gen Z saat ini hidup dalam kondisi dimana rasa cemas, lelah mental, dan tekanan menjadi bagian rutin dari keseharian mereka.

Stres pada dasarnya adalah respons alami tubuh ketika menghadapi tekanan, misalnya saat harus mengejar tenggat waktu, menghadapi ujian, atau menyelesaikan masalah sehari-hari. Dalam kondisi normal, stres ini bersifat sementara. Setelah masalah selesai atau setelah seseorang beristirahat, tubuh akan kembali tenang, hormon stres menurun, dan pikiran lebih rileks. Inilah yang biasa disebut stres biasa dan bersifat positif. Namun, ketika tekanan berlangsung terus-menerus tanpa jeda untuk pulih, stres berubah menjadi stres kronis. Pada tahap ini, tubuh seolah-olah selalu berada dalam mode waspada: hormon kortisol dan adrenalin terus tinggi, jantung berdetak lebih cepat, dan otot tetap tegang meski tidak ada bahaya nyata. Jika berlangsung lama, stres kronis bisa merusak keseimbangan tubuh, menurunkan imunitas, serta mengganggu tidur dan konsentrasi.

Dari sinilah kemudian muncul kondisi yang lebih parah, yaitu burnout. Burnout terjadi ketika stres kronis sudah berlangsung lama dan energi fisik maupun mental terkuras habis. Gejalanya antara lain kelelahan ekstrem yang tidak hilang meski sudah beristirahat, rasa sinis atau acuh terhadap pekerjaan maupun lingkungan, serta penurunan motivasi dan produktivitas. Dengan kata lain, burnout bukan sekadar lelah, tapi kelelahan yang mendalam dan melemahkan semangat hidup. Hampir setengah dari Gen Z (46%) merasa stres atau gelisah hampir setiap hari. Angka ini menunjukkan bahwa banyak dari mereka tidak lagi sekadar mengalami stres sesaat, tetapi sudah masuk ke fase stres kronis, bahkan bagi sebagian besar sudah mendekati atau berada dalam tahap burnout.

Burnout bukan hanya soal lelah pikiran, tapi juga bisa merusak tubuh dan otak jika dibiarkan terus-menerus. Ketika stres berlangsung lama, hormon stres seperti kortisol dan adrenalin tetap tinggi, membuat daya tahan tubuh melemah sehingga mudah sakit, tidur jadi terganggu, jantung berdebar lebih cepat, bahkan perut sering bermasalah. Di otak, bagian yang berfungsi mengingat dan belajar melemah, kemampuan mengambil keputusan menurun, sementara pusat rasa takut justru makin aktif, sehingga hal kecil pun bisa terasa menekan. Akibatnya, banyak anak muda merasa sulit fokus, gampang cemas, cepat lelah, dan kehilangan motivasi. Jika terus berlanjut, burnout dapat membuka jalan bagi penyakit kronis seperti hipertensi dan diabetes, menurunkan prestasi belajar dan kerja, serta meningkatkan risiko depresi atau gangguan kecemasan. Dengan kata lain, burnout pada Gen Z adalah masalah serius yang bisa mengganggu kesehatan sekaligus masa depan mereka.

Jadi, wajar jika Gen Z lebih sering mengalami maag atau gastritis akibat stres kronis dibanding generasi sebelumnya, karena tubuh mereka terus-menerus berada dalam tekanan. Pada tahap ringan, maag biasanya hanya menimbulkan rasa perih di perut, mual, atau kembung. Namun jika dibiarkan tanpa penanganan, kondisi ini bisa berkembang menjadi tukak lambung, yaitu luka pada dinding lambung, dan dalam kasus yang lebih parah bisa menimbulkan komplikasi seperti perdarahan, lambung berlubang (perforasi), hingga infeksi serius di rongga perut (peritonitis). Secara ilmiah, stres kronis berperan besar dalam memperburuk kondisi lambung: ia meningkatkan produksi asam lambung, melemahkan mekanisme pelindung alami lambung, dan menurunkan daya sembuh tubuh. Selain itu, stres sering memicu gaya hidup yang tidak sehat, seperti sering telat makan, mengonsumsi obat pereda sakit tanpa pengawasan, terlalu banyak kafein atau alkohol, serta kurang tidur. Kombinasi antara stres tinggi dan kebiasaan buruk inilah yang membuat risiko tukak lambung serta komplikasinya meningkat drastis.

Sebuah penelitian dari Indonesian Journal of Global Health Research oleh Azizah, Purba, dan Sari (2024) menemukan bahwa banyak siswa SMA mengalami gejala gastritis atau sakit maag. Kondisi ini tidak muncul begitu saja, melainkan berkaitan dengan pola makan yang kurang teratur, stres yang berlebihan, serta konsumsi obat pereda nyeri tanpa pengawasan. Temuan ini menunjukkan bahwa remaja rentan terhadap gangguan pencernaan ketika gaya hidup dan kondisi psikologisnya tidak seimbang. Salah satu faktor yang paling menonjol adalah stres. Survei menunjukkan bahwa remaja perempuan lebih sering melaporkan stres dibandingkan laki-laki. Penyebabnya cukup beragam. Masalah finansial menjadi salah satu sumber utama – banyak generasi muda, termasuk Gen Z, merasa khawatir tentang uang saku, gaji awal, dan biaya hidup yang terus meningkat. Kekhawatiran ini menambah beban mental sejak dini, bahkan sebelum mereka benar-benar mandiri secara ekonomi.

Selain itu, pekerjaan dan beban kerja juga menjadi pemicu stres. Banyak anak muda merasa ditekan oleh target tinggi, jam kerja yang panjang, dan kekhawatiran pekerjaan mereka tidak memberikan makna. Tidak sedikit yang sudah takut mengalami burnout di awal karier. Ketidakpastian masa depan global, seperti isu perubahan iklim, instabilitas politik, dan dampak pandemi, ikut memperbesar rasa cemas akan masa depan. Di dunia pendidikan, tugas dan tekanan akademik juga menjadi faktor utama. Remaja seringkali kewalahan menghadapi banyaknya pekerjaan sekolah, ujian, serta tuntutan untuk meraih nilai tinggi. Hal ini diperparah dengan ekspektasi orang tua atau lingkungan. Harapan yang terlalu besar mengenai prestasi, karier, hingga pilihan hidup bisa menjadi beban mental yang berat bagi mereka.

Hubungan antarpribadi juga berperan penting. Konflik dengan teman, pasangan, atau keluarga, serta kurangnya dukungan sosial, dapat memperburuk kondisi emosional remaja. Tekanan ini semakin besar dengan hadirnya media sosial. Perbandingan sosial yang terus-menerus – melihat teman yang tampak lebih sukses, lebih bahagia, atau memiliki penampilan fisik sesuai standar kecantikan – sering membuat remaja merasa dirinya kurang. Media sosial pada akhirnya menjadi sumber tekanan tersendiri yang memperkuat rasa tidak puas terhadap diri sendiri. Dengan kata lain, stres pada remaja, khususnya Gen Z, bersumber dari kombinasi faktor internal (seperti pola pikir dan emosi) dan eksternal (seperti tuntutan akademik, ekonomi, hubungan, serta pengaruh media).

Lalu, bagaimana solusi menghadapi masalah stres yang sering dialami remaja, khususnya Gen Z? Salah satu jawabannya datang dari penelitian Alia Crum dari Stanford University. Ia meneliti bagaimana cara kita memandang stres ternyata dapat mengubah dampaknya terhadap tubuh. Hasil penelitiannya yang dipublikasikan di Journal of Personality and Social Psychology (Crum et al., 2013) menunjukkan hal menarik. Ketika sekelompok orang diberi edukasi bahwa stres bisa bermanfaat – misalnya membantu meningkatkan fokus, memberi energi tambahan, dan mendorong performa lebih baik – hasilnya hormon stres (kortisol) dalam tubuh mereka menjadi lebih seimbang dan kemampuan mereka dalam menyelesaikan tugas juga meningkat. Sebaliknya, kelompok yang percaya bahwa stres selalu buruk justru mengalami tingkat kecemasan lebih tinggi, kadar kortisol yang lebih tinggi, dan kesehatan fisik yang lebih terganggu.

Temuan ini penting bila dikaitkan dengan kondisi Gen Z. Banyak anak muda memandang tekanan hidup sebagai ancaman besar, entah itu dari sekolah, pekerjaan, keuangan, maupun masa depan yang tidak pasti. Cara pandang seperti ini membuat sistem tubuh mereka terus siaga, seakan sedang menghadapi bahaya. Akibatnya, stres menjadi kronis dan memicu berbagai keluhan kesehatan, salah satunya maag atau gastritis yang kerap dialami remaja. Namun, jika Gen Z dilatih untuk mengubah cara berpikirnya tentang stres – dari “stres = bahaya” menjadi “stres = energi untuk bertumbuh” – maka efek biologis yang muncul bisa sangat berbeda. Hormon dalam tubuh menjadi lebih stabil, daya tahan tubuh meningkat, dan risiko masalah kesehatan seperti burnout maupun maag dapat berkurang. Dengan kata lain, bukan hanya intensitas stres yang menentukan dampaknya, tetapi juga mindset kita dalam menghadapinya. Jadi, kendali pikiran dan mindset stres adalah kunci agar Gen Z tidak jatuh ke stres kronis dan burnout, serta bisa mengurangi risiko sakit fisik seperti maag.

Follow IG @pakarpemberdayaandiri

Share Konten

Opini Lainnya

IMG_6374
Employee Advocacy : Strategi Komunikasi Kemenkeu Di Era Disrupsi Digital
e7e11855-f8bf-49a3-96fa-b5e3bb41b9c8
Pendidikan Yang di Perjualbelikan
ef266fd1-bf9b-4207-a684-9b403a9871aa
PPP Retak di Ancol, PSI Menari di Panggung Politik Muda
{"eId":"1597443533921831","CameraPosition":1}
Profesi Farmasi di Tengah Krisis Identitas
449744c6-17a4-4cf4-93ba-5110fe69e72e
Pemimpin Kordoba
fitrah
Tambang Bukan Pilihan : Antara Investasi dan Ancaman Kehidupan
7606776e-10f1-4010-98e2-3567beefeb7c
Wujudkan Keadilan Sosial; Menteri Maruarar Sirait Gandeng Jaksa Agung Perangi Pengembang Nakal dan Korupsi
66302d2c-5516-4eb9-b9a1-d3393755fee7
Antara Moralitas Hukum dan Praktik
77ecb6ed-66d4-4646-a691-9e464ea8be90
Ketika Jokowi Jadi Wajah Ramah Kapitalisme Dunia
ed31733c-0500-43fd-9f1f-eeb6409eb583
Cross-Media dan Perubahan Perilaku Audiens di Era Digital Dari Penonton Menjadi Produser: Peran Cross-Media dalam Membentuk Audiens Modern
Scroll to Top