OPINI

HMI dan Stigma “Ancaman” di Kampus

ruminews.id – Di banyak kampus, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) seolah menjelma monster. Bukan monster nyata, tapi monster imajiner yang hidup di kepala sebagian petinggi kampus. Setiap kali mahasiswa baru masuk, selalu ada narasi yang diperdengarkan dengan nada serius: “Hati-hati, jangan ikut HMI. Mereka itu suka mendoktrin, suka bikin ribut, bahaya untuk masa depanmu.”

Lucu sekali melihat bagaimana sebagian kampus memperlakukan HMI. Seolah-olah organisasi mahasiswa ini adalah hantu gentayangan yang siap meneror ruang akademik. Setiap kali mahasiswa baru masuk, selalu ada “bisikan suci” dari petinggi kampus: “Jangan ikut HMI, nanti kamu didoktrin, nanti kamu jadi rusuh, nanti kamu tersesat.” Ironisnya, kalimat semacam ini justru lebih mirip doktrin daripada apa yang dituduhkan kepada HMI.

Ironinya, kalimat itu sendiri adalah sebuah doktrin. Jadi, siapa sebenarnya yang suka mendoktrin?

Kampus seharusnya menjadi tempat pikiran bebas berkecambah, tapi justru terjebak dalam paranoia. Mereka ingin mahasiswa yang cerdas—asal tidak terlalu kritis. Mereka ingin mahasiswa yang aktif—asal tidak melawan arus. Mereka ingin mahasiswa mengenal organisasi—asal bukan organisasi yang berani bicara. Singkatnya, mereka ingin mencetak generasi yes man yang sopan, lugu, dan siap diatur tanpa banyak tanya.

Mengapa kampus begitu panik? Apakah gedung-gedung tinggi itu akan roboh hanya karena beberapa mahasiswa belajar berpikir kritis bersama HMI? Ataukah para petinggi kampus khawatir kursi empuk mereka goyang jika terlalu banyak mahasiswa berani bertanya “kenapa” dan “untuk siapa” kebijakan diambil?

Padahal, sejarah HMI tidak bisa dihapus begitu saja dengan stigma murahan. HMI lahir di masa pergulatan identitas bangsa, tumbuh bersama semangat melawan ketidakadilan, dan banyak melahirkan tokoh nasional, melahirkan intelektual, politisi, dan tokoh bangsa. Tapi apa yang diingat kampus? Bukan intelektualitas atau kontribusinya, melainkan label: ribut, keras kepala, pengganggu stabilitas.

Stabilitas kata itu terdengar indah. Tapi stabilitas seperti apa yang mereka maksud? Stabilitas kampus yang tenang, steril, tanpa kritik, di mana mahasiswa hanya jadi penghuni kelas yang mengejar IPK lalu pulang dengan selamat? Jika itu yang dimaksud, maka kampus tidak lebih dari pabrik ijazah, bukan ruang intelektual.

kampus yang seharusnya jadi ruang paling bebas untuk berpikir, justru alergi terhadap kebebasan itu sendiri. Mereka ingin mahasiswa kritis di atas kertas, tapi jinak di lapangan. Mereka mengajarkan demokrasi di kelas, lalu mengebiri praktik demokrasi di halaman kampus.

Bayangkan betapa rapuhnya otoritas kampus jika hanya dengan sekelompok mahasiswa ber-HMI, mereka sudah merasa terancam. Apakah kursi jabatan itu selemah itu, sehingga kritik mahasiswa bisa membuatnya oleng? Ataukah sebenarnya bukan HMI yang berbahaya, melainkan nurani mahasiswa yang bisa hidup kembali ketika bertemu ruang kaderisasi?

kampus sering menuduh HMI suka mendoktrin, padahal mereka sendiri mendoktrin mahasiswa baru dengan larangan sepihak. Kampus menuduh HMI berbahaya, padahal yang berbahaya justru sikap kampus yang anti-pikiran bebas. Kampus menuduh HMI mencuci otak, padahal mereka sendiri yang berusaha membatasi akal sehat dengan ketakutan.

Kampus bicara demokrasi di kelas, tapi mencekik demokrasi di halaman. Mereka mengajarkan mahasiswa untuk kritis, tapi menutup pintu ketika kritik diarahkan pada kebijakan kampus. Mereka menuntut mahasiswa jadi agen perubahan, tapi panik ketika mahasiswa benar-benar bergerak. Bukankah ini ironi terbesar pendidikan tinggi kita?

Stigma terhadap HMI di kampus biasanya berakar dari dua hal. Pertama, ketakutan struktural: bahwa HMI bisa melahirkan mahasiswa yang berani bersuara, mengkritik, dan tidak tunduk sepenuhnya pada narasi resmi kampus. Kedua, trauma historis: gesekan antara aktivis HMI dengan birokrasi kampus atau pemerintah di masa lalu, yang akhirnya diwariskan dalam bentuk larangan halus kepada generasi berikutnya.

Sebenarnya yang ditakuti bukanlah HMI sebagai organisasi, melainkan ide yang hidup di dalamnya: keberanian untuk bertanya, keberanian untuk bersuara, keberanian untuk melawan kemapanan yang tidak adil. Itulah yang dianggap ancaman—bukan untuk mahasiswa, tapi untuk kenyamanan birokrasi kampus.

Jika kampus benar-benar percaya pada intelektualitas, mereka seharusnya memberi ruang bagi mahasiswa untuk mencoba, menilai, dan menentukan sendiri apakah HMI cocok bagi mereka. Melarang HMI hanya menunjukkan satu hal: kampus tidak percaya pada mahasiswa. Mereka menganggap mahasiswa terlalu naif, terlalu bodoh untuk memilih jalannya sendiri.

Dan di sinilah letak tragedinya: kampus yang seharusnya melahirkan pemikir bebas justru melahirkan paranoia. Paranoia yang diwariskan dari generasi birokrat lama ke birokrat baru, sampai akhirnya menjadi semacam takhayul institusional. Bahwa HMI itu hantu. Bahwa organisasi mahasiswa itu penyakit. Bahwa kebebasan berpikir itu ancaman.

Padahal, jika kita jujur, HMI tidak pernah menjadi hantu. Yang berhantu itu adalah rasa takut kampus pada suara kritis. Rasa takut yang terlalu lama dipelihara, hingga kampus lupa bahwa mengekang mahasiswa justru lebih berbahaya: melahirkan generasi yang tidak percaya diri, tidak berani bersuara, dan hanya jadi penonton di tengah perubahan bangsa.

Maka, ketika petinggi kampus berkata: “Jangan ikut HMI, nanti kamu didoktrin,” mahasiswa seharusnya tersenyum. Sebab pada saat itu, mereka sedang menyaksikan ironi telanjang: bahwa kampus yang mengaku rumah intelektual, ternyata bisa lebih dogmatis daripada organisasi yang mereka tuduh.

Share Konten

Opini Lainnya

b4f69ab8-008d-455c-b4e2-926177510d12
“BBM Langka, Kepercayaan Pun Hilang: Potret Rapuhnya Tata Kelola Energi Indonesia”
8daf8f8b-8c70-4990-a359-9ad689df4e81
"Bitcoin adalah mainan"?
IMG_20250916_151706
Mengenal Khalid Basalamah yang Mengaku "Posisi Kami Ini Korban"
IMG_20250915_180202
SAL 200 Triliun: Mazhab Keynesian atau Monetaris?
b160bb8a-20e0-4d0a-b7ac-37991fbf85e6
Indonesia dan Nepal: Dua Cermin Kekuasaan yang Retak
IMG_6007
Reshuffle Sri Mulyani Antara Tekhnokrasi dan Geopolitik.
IMG_6005
Istana Gelar Teka-Teki: Menpora Baru, Antara Misteri dan Spekulasi
9cf14152-ee2b-42d7-a2f1-a67573634f65
DARI ISU BUBARKAN DPR KE RESHUFFLE KABINET: DEMOKRASI DALAM PANGGUNG REKAYASA
IMG_6002
Tumbangnya Sri Mulyani: Ketika Poros Dunia Bergeser dari IMF ke BRICS
4bb97845-0edb-49e4-8a6b-00a1b6bf2d27
DEVIL’S ADVOCATE’ ARIEF BUDIMANTA
Scroll to Top