OPINI

Jolly Roger di Atas Ladang Merah Putih

ruminews.id – Di sebuah negeri yang katanya Merdeka, rakyat menggantungkan harapanya pada tiang bambu reyot yang di tancapkan di Tengah ladang kering. Di ujung tiang itu berkibar sang merah putih, tapi seiring berjalanya waktu merah putih itu mulai pudar, lusuh, koyak dan tak lagi menyuarakan siapa-siapa kecuali nama-nama yang kini duduk di singgahsana. Namun menjelang hari kelahiran ibu pertiwi sang merah putih tidak lagi berkibar sendirian di tiang- tiang bendera truk dan jalanan. Kini menjelang hari lahir bangsa datang sehelai bendera bukan merah putih, bukan lambing negara dan juga bukan symbol partai. Bendera itu bergambar tengkorak tertawa seperti menghina, memakai topi Jerami reyot dan mengibarkan pesan yang lebih jujur. Dengan pesan “kami bukan penjahat, kami hanya tak ingin terus di jajah”.

Pengibaran bendera one piece bukan tampa sebab, ini adalah bentuk kekecewaan dan bentuk pemberontakan dan juga bentuk kritik terhadap penguasa negri yang tidak ingin rakyat miskin kota hidaup dengan sejahterah. Kita bisa lihat Sejarah bagaimana orang-orang yang mengkritik peerintah berusaha di culik dan di bunuh, tahun 1965, negara menumpahkan darah ratusan ribu orang atas nama ideologi tak peduli siapa benar dan siapa salah, dan parahnya setelah darah mengering negara menyuruh rakyat lupa. Selanjutanya Sejarah mencatat tahun 1997- 1998 para aktivis Kembali menghilang bukan karena tengelam di laut seperti sampun novel Laila s chudhori tapi di seret oleh negara. Ada wiji thukul, hermawan hendrawan, bimo patrus dan banyak lagi yang tak pernah Kembali. Apa dosa mereka? Mereka hanya bersuara mereka hanya mengkritik, mereka tak ingin diam saat rakyat di injak-injak,
Itu hanya Sebagian wajah kelam Sejarah, kita juga bisa lihat baru-baru ini tahun 2022 rakyat Desa Wadas yang menolak tambang batu andesit, dan yang datang untuk melawan adalah instrument negara, mereka bersenjata lengkap. Kasus yang sama yang dihadapi oleh warga desa rempang yang menolak penggusuran atas nama investasi asing dan lagi-lagi negara mengirip pasukan bersenjata untuk melawan rakyatnya sendiri. Padahal dalam konstitusi kita sudah jelas melindungi yang termuat dalam pasal 28G 1945. Tapi hukum hanya jadi teks suci yang mati dan tidak punya taring terhadap politik. Hukum seperti jarring laba-laba nyamuk kecil terperangkap, gajah lewat beitu saja.

Petani bisa di penjara karena mempertahankan tanahnya, mahasiswa di krimininalisasi akibat orasi, tapi anak pejabat yang punya paman melabrak konstitusi di anggap investasi anak muda. Hal ini bisa kita cek dalam putusan MK No 90/PUU-XXI/2023. Masih banyak potret yang bisa kita lihat seperti tambang di pulau-pulau kecil, mafia tanah,undang-undang TNI, perampasan tanah adat, dan baru-baru ini RKUHAP.

Negara ini pun seolah dipimpin oleh para Celestial Dragons kaum elit yang tak pernah menyentuh tanah, tak tahu bau keringat petani, tak kenal harga beras di pasar, tapi bisa menentukan nasib jutaan orang dari ruang berpendingin. Mereka tinggal di atas awan hukum, kebal terhadap jerat konstitusi. Sementara rakyat, seperti kru Topi Jerami, hanya ingin hidup tenang di kapal kecil mereka. Tapi seperti Luffy yang tak pernah diam melihat ketidakadilan,

rakyat pun kini mulai mengangkat layar. Mereka tak lagi percaya pada Pemerintah Dunia, mereka tahu “keamanan negara” hanyalah nama lain dari ketakutan penguasa pada suara yang tak bisa mereka kendalikan. Bagi mereka, menolak tambang bukan ancaman. Menolak digusur bukan makar. Menolak diam bukan kejahatan. Tapi negara memperlakukan mereka seolah mereka bajak laut sungguhan dikejar, ditangkapi, dipukul, dilabeli.

Namun sejarah selalu berulang dan seperti yang kita pelajari dari cerita Luffy dan krunya, selama ada yang berani bermimpi, akan selalu ada yang berani melawan. Di antara reruntuhan kepercayaan pada negara, tumbuh gerakan kecil dari bawah. Di kampus-kampus, warung kopi, lorong kota, hingga ladang-ladang yang hendak ditambang, rakyat mulai membentuk kru mereka sendiri. Bukan untuk mencari harta karun, tapi untuk mempertahankan hak hidup yang terus dirampas. Mereka bukan tokoh utama dalam buku sejarah, tapi merekalah pengisi baris- baris kecil yang membentuk arus zaman. Seperti kru Topi Jerami yang datang dari latar belakang yang berbeda penyintas, pemikir, pejuang, pemimpi rakyat pun kini menyatukan luka dan marah mereka menjadi satu bendera: bukan untuk menjatuhkan negara, tapi untuk mengingatkan bahwa negeri ini tak hanya milik para pemilik modal dan pemegang kekuasaan.

Dan di situlah ironi paling tajam: bahwa bendera bajak laut kini justru terasa lebih membela rakyat ketimbang bendera negara. Bahwa simbol dari dunia fiksi mampu menjadi cermin dari kenyataan, yang tak sanggup diungkap oleh pidato kenegaraan. Bahwa di tengah sunyinya suara keadilan, tengkorak dengan topi jerami itu justru berbicara paling lantang menolak tunduk, menolak lupa, dan menolak menyerah.
Kini, menjelang ulang tahun negeri yang katanya merdeka, suara rakyat tak lagi terwakili oleh parade seremonial atau pidato formal yang dibacakan tanpa rasa. Suara rakyat justru hidup di jalanan, di mural yang disiram cat, di spanduk yang dicabut paksa, dan di bendera bajak laut yang terus berkibar meski dikecam. Mungkin negara lupa bahwa kemerdekaan bukan hanya tentang bendera yang dikibarkan tinggi, tapi tentang siapa yang bisa hidup dengan layak di bawahnya.

Luffy tidak pernah meminta menjadi pahlawan. Ia hanya tak tahan melihat temannya disakiti, tanah dirampas, dan keadilan diperdagangkan. Dalam dunia nyata, kita tak punya Buah Iblis, tak punya kapal Going Merry, dan tak bisa bertarung dengan tinju api. Tapi kita punya satu hal yang lebih kuat: keberanian untuk bersuara. Untuk tidak diam. Untuk menolak tunduk. Karena jika rakyat terus diperlakukan seperti bajak laut, maka jangan salahkan jika akhirnya mereka benar- benar mulai berlayar.

Dan mungkin, ketika merah putih tak lagi cukup untuk bicara, tengkorak bertopi jerami itulah yang akan menjadi suara mereka.

Share Konten

Opini Lainnya

IMG-20251016-WA0082
Ketika Kemasan Lebih Dipercaya dari Kandungan
8e7925ba-492e-4d85-8cee-afe0fbf1826a
Hari Pangan, Kedaulatan Pangan : Dari Swasembada Menuju Ketahanan Berkelanjutan
4b5a934e-cdde-4267-8fbf-dac52985c670
Gubernur Geruduk, Purbaya Tak Gentar Menunduk
759c926a-8e1f-402a-8479-70664459fb9d
10 Catatan Kritis HMI Sulsel Sambut Kedatangan Menteri Kehutanan
IMG-20251008-WA0001
Asistensi Mengajar Mandiri: Inovasi Kampus Menjawab Keterbatasan Kebijakan dan Menguatkan Nilai Sosial Calon Guru
IMG-20251007-WA0033
Ikhtiar, Takdir, dan Misi Kader HMI dalam Menjawab Tanggung Jawab Zaman
f5563536-316d-41d3-a4aa-3491fbf6cf0f
Fenomena Kanda Karca: Belajar dari Senior untuk Melihat Dunia
b03bfafc-3c92-444e-9393-3368a865adb1
Makan Bergizi Gratis, “Cobra Effect” dan Sabotase?
IMG-20251005-WA0093
Menyambut Era Algoritmokrasi Ekonomi
585f3145-5819-44ef-a611-a3f5ed7eb9c9
Alibi Dangkal Menteri HAM: Keracunan MBG Bukan Pelanggaran HAM?
Scroll to Top