ruminews.id, – Israel sedang membayar mahal untuk perang yang mungkin tak bisa dimenangkannya dengan rudal. Sejak Iran melancarkan serangan balasan besar-besaran pada pertengahan Juni 2025, mesin ekonomi Israel berubah menjadi mesin tempur. Setiap hari, negara ini menghabiskan antara $285 hingga $725 juta hanya untuk pertahanan udara dan serangan balasan. Jika dihitung per bulan, angkanya bisa menembus $12 miliar. Kondisi tsb bukan sekadar pembengkakan anggaran melainkan menjadi jalan cepat menuju jurang resesi.
Dengan pengeluaran militer sebesar itu, defisit anggaran Israel terancam melonjak tak terkendali yang tentu saja berpengaruh pada sektor-sektor vital seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur sipil. Dalam situasi seperti ini, stabilitas fiskal tak lagi bisa dijaga hanya dengan retorika keamanan nasional.
Jika situasi ini terus berlangsung, Israel akan kehilangan dua hal yang paling penting bagi keberlanjutan sebuah negara, yakni kepercayaan rakyat dan kepercayaan pasar. Ketika negara menggantungkan eksistensinya pada konflik, maka kedamaian tidak lagi menjadi cita-cita, melainkan ancaman bagi industri yang sudah telanjur hidup dari peperangan. Itulah paradoks tragis yang sedang dijalani Israel; “semakin panjang umur perang, semakin pendek umur ekonominya”.
Masa depan Israel, yang dulunya dibayangkan sebagai pusat kemajuan dan teknologi, kini mulai berubah arah menjadi negara berbiaya tinggi, berutang besar, dan tergantung pada perang sebagai mesin ekonomi. Dan sejarah selalu kejam pada negara yang menukar masa depannya demi ambisi jangka pendek. Sebab yang tak bisa dimenangkan dengan rudal, akan ditagih kembali lewat harga yang lebih mengerikan yaitu kehancuran dari dalam.
Israel tidak sedang menuju cita-cita kejayaan tanah yang dijanjikan, melainkan sedang menuju kebangkrutan ekonomi, moral, dan sejarah. Alih-alih menjadi tanah yang dijanjikan, malah akan menjadi tanah yang ditinggalkan.
[Erwin]