OPINI

Kabur Aja Dulu : Fenomena Brain Drain dan Dilema Talenta Indonesia

ruminews.id – Dalam beberapa minggu terakhir, tagar #KaburAjaDulu ramai diperbincangkan di media sosial. Ungkapan ini bukan sekadar kelakar anak muda, tetapi cerminan dari kenyataan pahit: semakin banyak orang berbakat yang memilih meninggalkan Indonesia demi peluang yang lebih baik di luar negeri. Fenomena ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah dan para pengambil kebijakan. Namun, alih-alih mencari solusi, sebagian elite justru menganggapnya sebagai hal Wajar atau bahkan menyalahkan mereka yang pergi.

Ketika Negeri Tak Lagi Ramah bagi Talenta
Fenomena migrasi tenaga kerja berkualitas tinggi atau brain drain bukanlah hal baru, tetapi akhir-akhir ini semakin nyata dirasakan. Banyak anak muda berprestasi, mulai dari profesional di bidang teknologi, akademisi, hingga tenaga medis, memilih untuk mencari penghidupan di luar negeri. Alasannya? Mereka merasa bahwa di Indonesia, keahlian dan integritas mereka tidak dihargai sebagaimana mestinya.

Salah satu faktor utama adalah rendahnya kesejahteraan tenaga kerja profesional. Dibandingkan dengan negara lain, gaji tenaga ahli di Indonesia sering kali tidak sebanding dengan beban kerja dan tanggung jawab yang diemban. Belum lagi minimnya perlindungan tenaga kerja, ketidakpastian kontrak, dan fasilitas kerja yang jauh dari ideal. Namun, lebih dari sekadar ekonomi, faktor politik juga memainkan peran besar. Banyak individu
berbakat merasa tidak memiliki tempat dalam sistem yang lebih mengutamakan koneksi dan loyalitas politik daripada kompetensi. Jabatan strategis, baik di pemerintahan maupun sektor industri, sering kali diberikan kepada mereka yang memiliki hubungan dengan elite, bukan kepada mereka yang benar-benar mampu menjalankan tugasnya. Mereka yang menolak bermain
dalam budaya sogokan dan “cari muka” akhirnya tersisih.Di sisi lain, anak-anak muda dari kelompok marginal menghadapi tantangan ganda. Mereka tidak hanya harus berjuang melawan ketimpangan ekonomi, tetapi juga menghadapi sistem yang tidak
memberikan kesempatan yang adil bagi mereka untuk berkembang. Ketika kesempatan terbuka lebih luas di luar negeri, pilihan untuk pergi menjadi semakin masuk akal.

Siapa yang Dirugikan?
Jika fenomena ini terus berlanjut, dampaknya tidak bisa dianggap remeh. Indonesia akan kehilangan generasi terbaik yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan.

Beberapa konsekuensi yang akan muncul antara lain:

Stagnasi inovasi : Tanpa tenaga ahli, sektor teknologi dan ekonomi kreatif
akan sulit berkembang.
Ketimpangan SDM : Kekurangan tenaga profesional di dalam negeri bisa
berdampak pada kualitas layanan publik, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan.
Daya saing melemah : Sementara negara lain semakin maju dengan
memanfaatkan talenta global, Indonesia justru kehilangan sumber daya manusianya yang paling potensial.

Apa yang Harus Dilakukan?
Mengutuk mereka yang pergi bukanlah solusi. Sebaliknya, pemerintah dan pengambil kebijakan harus berhenti berpura-pura bahwa masalah ini tidak ada. Ada beberapa langkah yang perlu
segera dilakukan:

1. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja profesional
Standar gaji dan tunjangan harus diperbaiki agar lebih kompetitif, terutama di sektor-sektor strategis seperti teknologi, kesehatan, dan ekonomi kreatif.
2. Menegakkan meritokrasi secara nyata
Rekrutmen dan promosi jabatan harus berbasis kompetensi, bukan kedekatan
politik atau hubungan pribadi.
3. Menindak tegas praktik nepotisme dan korupsi
Jika orang berbakat terus tersingkir hanya karena mereka tidak mau menyogok atau menjilat, maka tidak heran jika mereka memilih pergi.
4. Memberikan insentif bagi diaspora untuk kembali
Program khusus seperti fasilitas riset, insentif pajak, atau kebijakan yang
mendukung kepulangan tenaga ahli bisa menjadi langkah untuk menarik
kembali talenta yang telah pergi.

Kesimpulan : Harus Berani Berubah
Fenomena #KaburAjaDulu bukan hanya soal anak muda yang ingin mencari pengalaman di luar negeri. Ini adalah refleksi dari sistem yang gagal memberikan tempat bagi orang-orang berbakat untuk berkembang. Jika Indonesia ingin maju, maka para pengambil kebijakan harus berhenti
mencari kambing hitam dan mulai membangun alasan agar mereka yang pergi mau kembali. Jika tidak? Mungkin hanya tinggal menunggu waktu sebelum kita menyadari bahwa negeri ini telah kehilangan generasi terbaiknya dan itu bukan salah mereka, tapi salah kita yang
membiarkan mereka pergi.

Andi Januar Jaury Dharwis
Pengamat Kebijakan Publik
Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan
2009-2014
2014-2019
2019-2024

Share Konten

Opini Lainnya

ab29cefe-49ca-48f8-a59d-adf2c00da05b
Belajar Pelan-Pelan di Kota yang Bergerak Cepat
331cac43-f13d-4690-a876-4f51ba879d65
Negara Sibuk Mengurus Sawit, Air Mengurus Rakyat: Air yang Jujur, Negara yang Mengelak
b2933403-15a0-4d99-acc9-00e5a7c644c8
Ketika Pelajaran Sekolah Menyelamatkan Nyawa.
00e38094-709c-4290-9114-a1114e54b60a
Kebijakan Pertanian : Peluang Generasi Muda dan Masa Depan Indonesia
962faf62-2d6b-4a1b-b248-cdfd67cfa972
Nexus: Ketika Jaringan Informasi Menjadi Arena Politik Peradaban
2e12a1c3-353e-453b-bc48-ed0418db2ed9
Raja Ampat dan Geopolitik Sumber Daya Alam: Di Antara Surga Ekologi dan Tarikan Ekonomi Global
6ce775bb-a2c5-4ce4-af47-629de78123fe
LKIII BADKO PAPUA BARAT - PAPUA BARAT DAYA: KEDAULATAN SDA MINERAL KRITIS
9914b5ac-eb0b-45f7-8a0c-c89cff75166f
Presiden tolong buatkan kami jembatan agar kami nyaman kesekolah. Seorang anak pelosok meminta lansung dibuatkan jembatan terhadap presiden.
abff4d92-1a71-496d-9412-afd1404a8a41
LK III BADKO HMI PAPUA BARAT - PAPUA BARAT DAYA: KAPITALISME DIGITAL & SEMESTINYA KADER HMI BERSIKAP
bfaac97f-6e5c-4768-8b85-928a191d4b8b
28 November: Peringatan yang Kita Diamkan, Dampak yang Kita Rasakan
Scroll to Top