ruminews.id- Dugaan penerbitan sertifikat tanah berbentuk Hak Guna Bangunan (HGB) di ruang laut pesisir selatan Kota Makassar memicu polemik serius. Sertifikat yang diduga diterbitkan oleh pihak Kantor ATR/BPN (Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) ini menjadi sorotan karena lokasi tanah yang dimaksud berada di wilayah perairan. Langkah ini dinilai melanggar ketentuan tata ruang serta membuka peluang privatisasi ruang laut melalui aktivitas reklamasi yang direncanakan oleh pemegang sertifikat.
Peran ATR/BPN dan Dugaan Pelanggaran
Menurut regulasi, penerbitan sertifikat tanah oleh ATR/BPN harus memperhatikan kesesuaian tata ruang wilayah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Namun, muncul dugaan bahwa sertifikat HGB yang diterbitkan ini tidak sesuai dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Selatan dan peraturan tentang pemanfaatan ruang laut.
Jika terbukti, tindakan ini menjadi pelanggaran serius karena ruang laut tidak seharusnya dialihfungsikan menjadi kawasan daratan untuk kepentingan pribadi atau komersial tanpa melalui mekanisme perizinan yang ketat. Aktivitas reklamasi yang direncanakan oleh pemilik sertifikat juga berpotensi melanggar ketentuan zonasi dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang menjadi acuan pengelolaan ruang laut di tingkat provinsi yang telah dilebur pada Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.
Dugaan Reklamasi dan Privatisasi
Dugaan awal menyebut bahwa penerbitan sertifikat ini merupakan langkah awal untuk melakukan penimbunan laut guna menciptakan daratan baru. Jika reklamasi ini terjadi, ruang laut yang menjadi milik publik berpotensi berubah menjadi area privat, sehingga menutup akses masyarakat pesisir, khususnya nelayan, terhadap sumber daya alam laut.
Andi Januar Jaury Dharwis aktivis bahari menyebutkan, “Langkah reklamasi ini, jika tidak sesuai aturan, adalah bentuk privatisasi ruang publik yang akan merusak ekosistem dan memarjinalkan masyarakat pesisir. Pemerintah Provinsi harus segera bertindak tegas.”
Ketentuan Hukum tentang Sempadan Pantai dan Ruang Laut
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016, sempadan pantai memiliki fungsi ekologis penting dan harus dilindungi. Kawasan ini tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan komersial yang dapat merusak lingkungan. Selain itu, ruang laut hingga 12 mil dari garis pantai adalah wilayah yang diatur dan diawasi oleh pemerintah provinsi sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014.
Penerbitan sertifikat di wilayah laut jelas bertentangan dengan fungsi ruang laut sebagai aset publik dan pelanggaran terhadap tata ruang wilayah. Hal ini juga bertentangan dengan asas keberlanjutan yang diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Desakan Peninjauan Ulang dan Klarifikasi
Publik mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Kantor ATR/BPN untuk segera memberikan klarifikasi terkait dugaan pelanggaran ini. Peninjauan ulang atas semua sertifikat tanah yang telah diterbitkan di kawasan laut dan garis pantai menjadi langkah mendesak untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang.
Andi Januar Jaury Dharwis mendorong DKP Sulawesi Selatan untuk segera memeriksa jika terdapat izin pemanfaatan ruang laut, serta bekerja sama dengan ATR/BPN untuk mengevaluasi status hukum sertifikat tanah di ruang laut. Hal ini penting untuk memastikan pemanfaatan ruang sesuai dengan peraturan dan tidak merugikan masyarakat.”
Kasus ini menjadi pengingat bagi semua pihak tentang pentingnya menjaga ruang laut sebagai aset publik yang dikelola secara berkelanjutan. Jika dugaan ini terbukti benar, sanksi tegas harus dijatuhkan kepada pihak-pihak yang terlibat agar tidak menciptakan preseden buruk dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia