OPINI

Perdebatan Imaginer Antara Karl Marx dan Adam Smith.

ruminews.id – Di suatu ruang imajiner di alam filsafat, Karl Marx dan Adam Smith sedang duduk berdebat. Keduanya tampak serius, tetapi ada secangkir teh dan sepiring kue di antara mereka, memberikan suasana santai.

Marx membuka diskusi dengan senyumnya yang khas. “Smith, teorimu tentang invisible hand itu menarik, tapi kau benar-benar percaya bahwa tangan tak terlihat itu bisa menyelesaikan semua masalah ekonomi?”

Smith mengangkat cangkir tehnya dengan tenang. “Tentu saja, Marx. Biarkan pasar bekerja, dan semuanya akan mencapai keseimbangan.”

Marx tertawa kecil. “Jadi, menurutmu, jika seorang tukang roti menaikkan harga roti karena ‘invisible hand’, para pekerja pabrik yang gajinya rendah akan tetap makan roti dengan damai?”

Smith menjawab, “Jika pasar bebas, kompetisi akan memaksa tukang roti menurunkan harga. Itu logika dasarnya!”

Marx menggeleng sambil tersenyum sinis. “Dan selama itu, para pekerja mungkin sudah makan angin. Bukankah lebih baik ada regulasi yang memastikan semua orang mendapat roti dengan harga terjangkau?”

Smith meletakkan cangkir tehnya dan berkata, “Tapi regulasi itu seperti menaruh tangan manusia ke dalam mesin pasar yang sempurna. Itu hanya akan memperlambat segalanya.”

Marx tertawa lagi. “Kalau begitu, tangan tak terlihatmu itu hanya untuk orang kaya yang sudah punya roti. Sementara pekerja harus berjuang sendiri. Kau tahu, Smith, jika aku jadi roti, aku pasti sudah mogok produksi!”

Smith tersenyum kecil. “Dan jika semua roti mogok produksi, Marx, maka bahkan kapitalis pun tidak akan punya roti. Jadi mungkin, pada akhirnya, kita saling membutuhkan—aku dengan tanganku yang tak terlihat, dan kau dengan revolusimu yang selalu terlihat.”

Keduanya tertawa, dan seorang pelayan tiba-tiba masuk ke ruangan untuk menyajikan lebih banyak teh.

Pelayan itu tersenyum dan berkata, “Tuan-tuan, aku hanya ingin bertanya. Apakah kalian akan berdebat tentang roti sepanjang hari, atau bisakah aku mendapat upah lebih karena melayani kalian?”

Marx dan Smith saling pandang, lalu tertawa keras. Smith berkata, “Aku yakin tanganku yang tak terlihat akan menyelesaikan itu.”

Marx menimpali, “Dan aku yakin aku harus menulis manifesto baru untuk itu!”

Ruangan pun dipenuhi tawa, bahkan si pelayan ikut tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Share Konten

Opini Lainnya

24e8156c-9f0e-48aa-ac49-a662449bce31
Tangisan akar, batangnya di babat habis-habisan
WhatsApp Image 2025-11-25 at 22.57
Hari Guru Nasional: Luka di Balik Tanda Jasa
WhatsApp Image 2025-11-25 at 20.21
Kontestasi RT/RW Makassar dan Tantangan Patronase di Akar Rumput
WhatsApp Image 2025-11-25 at 20.21
Evaluasi Bisnis Akhir Tahun: Untung atau Buntung?
331d2531-f492-4ad4-8ac5-6905f647d608
Bonus Demografi Memanggil ; Kolaborasi Pemuda Berkelanjutan
8dc0aa0f-a1fa-4ef4-923c-c55dcd3bef06
Menakar Pidato Gibran di KTT G20 dari Kacamata Anak Muda
7d225416-20f1-4350-9938-8009bab3da27
Integrasi Akal dan Keadilan Ilahi dalam Tata Kelola Publik: Sebuah Renungan dari Pemikiran Murthada Mutahhari
c5943218-1ddc-4832-b11c-ef40947401eb
Greenwashing dan Cultural Bleeding Politik Indonesia
8fbbfd7b-7670-4ad6-920c-c2f3c9fa2786
Hantu-Hantu Yang Bergentayangan Di Kampus
b6460e08-cba5-4b7d-8479-02ce12854cb4
Membongkar Ilusi Pembangunan dalam Program Satu Juta Rumah dan Urbanisasi Kota Makassar
Scroll to Top