ruminews.id – Berorganisasi atau bernegara dalam skala yang lebih besar seperti siklus hidup manusia. Lahir, tumbuh, besar dan mati. Sebagaimana Allah Berfirman dalam al Qur’an “Walikulli ummatin ajal – setiap ummat atau kelompok atau komunitas akan menemukan azalnya”.
76 tahun adalah usia yang cukup lama bagi sebuah komunitas. Ihwal itulah yang menandakan, bahwa “Lafran” muda kala itu dengan niat yang ikhlas membidani lahirnya himpunan mahasiswa Islam ini.
Setiap zaman telah dilalui HMI. Tahun 80-an kita terjebak dalam pertikaian ideologis sesama kader. Kita lalu terbelah menjadi (Dipo Dan MPO). akibat azas tunggal rezim soeharto, residunya masih ada hingga kini.
Biasanya jelang kongres hampir setiap kandidat ketua umum PB HMI (Dipo) mengangkat isu univikasi HMI. tetapi hingga kini belum juga tercapai. Tentu Ini pekerjaan rumah kader Visioner, agar Kedepannya harus di seriusi dan kembali ke satu rumah yang sama. Alasan ideologis sudah selesai, tinggal teknis penyatuan yang mesti dirancang dengan baik.
Entah mengapa, saya selalu resah dengan dinamika HMI hari ini yang tidak lagi berangkat dari semangat awal lahirnya. Jika ada “keributan” justru hanya berkisar di wilayah PERUT dan DI BAWAH PERUT. Tidak lebih.
Padahal, alasan paling Fundamental Kekalahan Rosulullah SAW Diperang Uhud?. Bukan karena kuatnya musuh. Tetapi, tergiurnya pasukan panah Rosulullah yang meninggalkan bukit Uhud, pada harta (Ghonimah) dan mengabaikkan perintah Rosul (Agama) untuk tidak meninggalkan bukit uhud. Artinya Kemenangan ada syarat-syaratnya, begitupun kekalahan ada sebab-sebabnya.
Relevansinya ialah jika kita berkader – Berhimpun hanya untuk mendapatkan Harta dunia. Jika kita berkader hanya untuk merengkuh popularitas, dan Jumawa menjadi ketua Umum. Maka, jangan berharap kemenangan berada dipihak kita. Kemenangan memang punya syarat yang berat, namun kekalahan pun punya resiko yang tidak ringan.
Tetapi, dalam sejarah, Rosulullah SAW juga tidak menyalahkan pasukan pemanah yang meninggalkan bukit uhud, karena tergiur Ghonimah. Justru, Yang di lakukan Rosulullah SAW adalah mengevaluasi pasukannya, memperbaiki mental dan setelahnya hampir pasukan islam tidak pernah kalah saat berperang.
Tidak ada satu komunitas yang akan bertahan, hingga kiamat. Semua akan menemui ajalnya (bubar) dalam skala waktu, sebab relevan dengan entitasnya yang selalu dialektis. Entah menemukan kejayaan atau bubar. tergantung apa yang kita lakukan terhadap pelanjut risalah (kader) sekarang dan ke depan.
Dinasti-dinasti besar yang di bangun dengan kekuatan pasukan perang paling Canggih, bisa hancur meninggalkan puing. Kini menjadi sejarah. ” Walikulli Ummatin Azal (setiap Ummat atau kelompok atau Komunitas mempunyai ajal)”.
Tinggal bagaimana cara matinya. Khusnul khotimah atau Suulkhotimah. dengan cara bermartabat atau malah terhina, dengan jalan yang terbaik atau malah mati, karena penghianatan dari dalam. Khalifah umar misalnya yang masa Hidupnya sangat garang, di segani kawan, di takuti lawan. Ternyata sebab matinya ditikam penghianat Abu Lu’luah atau Khalid bin Walid yang sebahagian nafasnya dimedan perang, namun matinya diatas tempat tidur.
Jika Setiap perkumpulan atau kelompok ada masa lahir dan matinya. Maka, hanya ada dua jalan menurut saya dalam mempertahankan eksistensi komunitas atau kelompok. Pertama ialah Individu : setiap individu adalah kader yang hampir memenuhi kualifikasi menjadi pemimpin. Kedua, kualifikasi pemimpin hanya akan terlahir dari belajar terus menerus dan merawat ide-ide besar (Mendorong basis – Basis kultural). Demikianlah rumus siklus waktu untuk tetap eksis.
HMI sebagai sebuah lembaga yang dari awal dilahirkan bertujuan, untuk menciptakan generasi tangguh, diberi beban untuk mengembangkan dan menyebarkan syiar Islam. Namun secara empiris sudah perlahan-lahan masuk dalam jebakan iblis yang Durjana. Banyak anggotanya sudah tidak lagi menjadikan generasi awal HMI sebagai contoh yang baik dalam menjalankan aktifitas organisasi. Pedoman-pedoman dan Kosntitusi HMI sekedar sebagai penghias rak-rak buku yang hanya dipakai jika relevan dengan kepentingan diri dan kelompokoknya.
Padahal Kader adalah mata air peradaban, kerja-kerja organisasinya berorientasi ibadah. Menit dan detik berpikirnya tentang kemaslahatan ummat. tindakannya selalu relevan dengan realitas. Di ujung lidahnya rakyat menitip asa. Ia resah, jiwannya berontak. Ia rela bersusah-susah untuk orang susah.
Jika bicara, terbaca kedalaman ilmu di ujung lidahnya. Ia pemikir sekaligus pemberontak, perlawanan yang ia lakukan karena kedalaman ilmunya. Ia bertahan dengan argumentasi yang kokoh, menyerang dengan bahasa yang kuat, padat dan berisi. Ia tidak melulu mengeksploitasi nestapannya. narator sekaligus menerima jalan yang di laluinya. Ia nikmati Ghonimah berkader dengan sadar. Bahwa berbagi ilmu, harta dan mengkader adalah jalan serta resiko yang di tanggungnya sampai mati. Ini jalan jihad, ini lorong suci. Lalui saja dengan riang gembira. Nikmati hasilnya dengan kemeriahan dan deklarasikam bahwa kader Visoner tidak akan pernah menyerah dengan kalah.
Jika kita bertamasya pada Sejarah terbelahnya komunitas-komunitas besar dulu, maka kita bisa menangakap apa yang mereka pertaruhkan: Awal Februari 1923 Sarikat Islam yang besar itu. mengadakan kongres ke VII di Madiun. Menghasilkan keputusan menambah nama partai di awal Serikat Islam menjadi PSI. Ternyata ada gerbong revolusioner di bawah Semaoen dkk, menolak hasil kongres versi HOS Tjokroaminoto.
Mereka menuduh HOS dan kelompoknya terlalu kooperatif dengan pemerintahan kolonial belanda. Rivalitas ideologis yang terjadi antara HOS dan Semaoen di internal SI meruncing. Semaoen yang tidak kalah cerdas dengan HOS Tjokroaminoto Itu memprovokasi kelompok Islam abangan. Meyakinkan kepada mereka tentang relevansi agama (Islam) dan ajaran-ajaran kiri (Marxisme – Leninisme).
Hasil konfrontasi dan penolakan terhadap kongres Madiun itu berakhir dengan dibuatnya kongres tandingan pada awal maret 1923 di Kota Bandung. Semaoen dkk berganti nama menjadi Serikat Rakyat yang berhaluan Komunis.
Dalam konteks ideologis, terbelahnya Serikat Islam menjadi merah dan putih, hampir sama dengan kisah terbelahnya HMI menjadi dua. Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) yang menolak pemberlakuan azas tunggal dan konsisten dengan azas Islamnya dan menuduh kelompok HMI (Dipo) terlalu kooperatif dengan rezim Soeharto waktu itu.
Dua kisah perpecahan di atas akibat dari konflik ideologis, juga bahagian dari strategi dalam mempertahankan eksistensi organasasi. Di samping itu, faktor yang menjadi penyebab terbelahnya juga bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Coba kita lihat apa yang terjadi pada HMI hari ini, di struktur paling atas, Pengurus Besar dan Pengurus Cabang. kuasa diperebutkan, popularitas di pertengkarkan. Tontonan yang tidak patut di pentaskan di hadapan ribuan kader-kader yang ikhlas mengabdi. Mereka saling menggigit satu sama lain, bukan pada masalah-masalah ideologis atau soal perbedaan konsep mengorganisir massa untuk melawan rezim yang dzolim. Bukan.
Jangan bohong, HMI memang sedang masuk dalam perangkap iblis. Perebutan kekuasaan di tingkat cabang diawali dengan operasi komisariat – komisariat dengan mengiming-imingi Jabatan struktural (ini contoh umum). Ide dan gagasan yang mesti dikedepankan sekedar menjadi pelapis ke dua setelah komisariat – komisariat dan cabang – cabang yang sudah diidentifikasi pragmatis itu diperdagangkan. Dengan tenang diamati, inilah awal dari petaka itu menggerogoti aktifitas organisasi.
Bisa dibayangkan, ada pengurus Cabang dan Pengurus Besar yang tidak lolos screnning awal hanya karena tidak bisa mengaji. Dengan cepat, hal ini mungkin dianggap sepele. tapi, saya melihat ada gejala besar, Dan bisa saja HMI akan mati dengan Suulkhotimah. Jika diteruskan.
Belum lagi soal Sumber-sumber kekuasaan yang terbatas terus menjadi rebutan, walaupun memerlukan biaya yang mahal sekalipun, begitu teorinya. Nah, sudah sampai tahap itukah HmI?. Secara empiris iya, tapi kita malu-malu mengakuinya secara berjamaah. Memilih pemimpin organisasi Islam, tapi tidak di lalui dengan cara-cara yang di ajarkan agama. Itu Paradoks, tapi itu sudah kita anggap lumrah. padahal kita sudah kalah terhadap diri sendiri.
Sebagai kader, saya justru prihatin dengan realitas ini. Sebab, HMI tidak lahir dan besar dalam suatu rahim pengkultuskan politik kekuasaan. HMI tidak lahir dalam suatu surplus politik yang berlebihan. Jelas-jelas di tahun 1947 HMI lahir dari suatu common enemy; baik kolonialisme dan komunisme. Selanjutnya HMI tumbuh besar dalam pikiran besar tentang Keislaman dan keindonesiaan.