ruminews.id, Jakarta — Di ruang sidang yang hening, tempat kata-kata sering berubah menjadi babak baru sebuah cerita, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya mengetukkan palu penentu. Dengan suara yang tegas namun tetap berwibawa, hakim membacakan amar putusan yang seketika menggema melampaui dinding ruang peradilan.
“Pengadilan mengabulkan eksepsi tergugat,” demikian bunyi keputusan yang dibacakan, sebuah kalimat sederhana namun sarat makna dalam pertarungan hukum antara Tempo sebagai tergugat dan Kementerian Pertanian, yang menggugat dengan nilai perkara mencapai Rp200 miliar.
Putusan itu berlanjut, mengalir seperti alinea yang tak bisa diputus begitu saja:
“Majelis menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang mengadili perkara ini.”
Dengan demikian, gugatan megabesar yang sebelumnya menjadi sorotan publik, mendadak mereda sebelum sempat memasuki babak pembuktian. Seperti sungai yang berubah arah sebelum mencapai muaranya, perkara ini berhenti pada gerbang yurisdiksi.
Tak hanya sampai di situ, majelis hakim juga menjatuhkan kewajiban administratif: Kementerian Pertanian sebagai penggugat diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp240 ribu. Nilainya kecil dibanding gugatan yang diajukan, namun tetap menjadi penanda bahwa setiap langkah hukum memiliki konsekuensinya sendiri.
Di luar ruang sidang, kabar itu menyebar dengan cepat menyusup ke lorong-lorong redaksi, ruang diskusi publik, hingga percakapan warga dunia maya. Ada yang menyebutnya sebagai kemenangan prosedural, ada pula yang memaknainya sebagai pengingat bahwa hukum memiliki jalannya sendiri, tak selalu searah dengan keinginan para pihak yang bersengketa.
Namun satu hal pasti: hari itu, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hukum berbicara lewat ketukan palu. Dan di antara dinamika yang menyelimuti perkara ini, putusan tersebut menjadi bab penting yang menandai arah baru dari perjalanan panjang narasi hukum antara pemerintah dan pers.