Filsafat Islam dan Jalan Rasionalitas: Hidupkan Spirit Hikmah di Forum LK2 Nasional HMI Makassar Timur

ruminews.id, Makassar — Malam itu, Hotel LaMacca menjadi saksi bagaimana gagasan dan kebijaksanaan berpadu dalam suasana yang hangat dan beradab. Dalam ruang pertemuan yang tertata rapi dan penuh ketertiban, ketenteraman, serta keakraban, para peserta Intermediate Training (LK2) Tingkat Nasional HMI Cabang Makassar Timur duduk bersila dengan wajah penuh perhatian. Di hadapan mereka, tampil Noer Ramadhan La Udu, seorang pemikir muda sekaligus kader HMI yang membawakan materi bertajuk “Filsafat Islam: Dari Hikmah ke Rasionalitas, dari Wahyu ke Ilmu.”

Dengan suara yang tenang dan penuh kejelasan, Noer Ramadhan membuka perbincangan tentang hakikat ilmu dalam Islam — bukan sekadar sebagai kumpulan pengetahuan, tetapi sebagai jalan menuju kebijaksanaan (hikmah) yang mengantarkan manusia kepada kebenaran.

“Wahyu,” ujarnya lembut, “adalah cahaya yang menuntun akal. Sedangkan rasionalitas adalah cermin yang memantulkan cahaya itu ke dalam kehidupan.”

Kata-kata itu menembus keheningan. Para peserta terdiam, larut dalam renungan. Filsafat Islam, yang selama ini mungkin dianggap abstrak dan jauh dari kehidupan, malam itu seolah menjelma menjadi sesuatu yang hidup, hangat, dan relevan.

Noer Ramadhan menjelaskan bagaimana peradaban Islam klasik berdiri di atas harmoni antara iman dan akal, antara wahyu dan ilmu. Ia menyinggung tokoh-tokoh besar seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali bukan untuk mengagungkan masa lalu, tetapi untuk mengingatkan bahwa kejayaan Islam lahir dari keberanian berpikir dan keterbukaan terhadap ilmu.

“Kita tidak bisa membangun peradaban hanya dengan menghafal masa lalu,” katanya tegas. “Kita harus melanjutkan tradisi berpikir itu menjadikan wahyu sebagai dasar, dan rasionalitas sebagai alat untuk menafsirkan kehidupan.”

Forum berjalan begitu tertib. Peserta mendengarkan dengan khidmat, beberapa mencatat dengan tekun, dan sesekali tersenyum ketika pemateri menyelipkan humor ringan tanpa mengurangi bobot pembicaraan. Di sela-sela keseriusan diskusi, suasana keakraban intelektual terasa kental antara pemateri dan peserta, antara generasi yang sama-sama mencintai ilmu dan keindahan berpikir.

Sesi tanya jawab menjadi momen reflektif. Pertanyaan-pertanyaan lahir dari kegelisahan yang cerdas: bagaimana filsafat dapat kembali menjadi alat pembebasan, bagaimana wahyu bisa diterjemahkan dalam realitas sosial modern, dan bagaimana rasionalitas Islam berbeda dari sekularisme Barat. Noer Ramadhan menjawab dengan jernih dan rendah hati, menyatukan pandangan klasik dan konteks kontemporer dengan bahasa yang lembut namun bernas.

“Ilmu bukan sekadar alat untuk memahami dunia,” tuturnya, “tapi jalan untuk memahami diri dan lewat diri, kita mengenal Tuhan.”

Suasana forum berakhir dengan tepuk tangan panjang dan rasa kagum yang tulus. Para peserta bangkit, menyalami pemateri satu per satu. Ada senyum, ada rasa hormat, dan ada kehangatan khas HMI yang selalu mempersatukan pikiran dan persaudaraan.

Malam di Hotel LaMacca itu menjadi lebih dari sekadar kegiatan pelatihan; ia menjelma menjadi ruang perjumpaan antara iman dan intelektualitas, antara nalar dan nurani. Di sanalah para kader HMI belajar bahwa menjadi manusia berilmu berarti menjaga keseimbangan antara wahyu dan akal, antara spiritualitas dan rasionalitas, antara hikmah dan tindakan.

Dan di tengah keheningan setelah forum usai, seolah tersisa satu pesan yang lembut namun kuat dari Noer Ramadhan La Udu:

“Belajarlah tidak hanya untuk tahu, tapi untuk menjadi bijak. Karena hikmah adalah cahaya, dan ilmu adalah jalannya.”

Scroll to Top