OPINI

Indonesia dan Ilusi Bonus Demografi

ruminews.idIndonesia sedang mabuk dalam keyakinan bahwa bonus demografi adalah tiket menuju kemakmuran dan kemajuan. Di atas podium kerap kali para pejabat berbicara tentang peluang emas, generasi produktif, dan visi Indonesia Emas 2045 tepat 100 tahun indonoesia merdeka. Statistik dibentangkan seperti sebuah mantra keberhasilan lebih dari 64 persen penduduk kini berada pada usia produktif, antara 15 hingga 64 tahun. Badan Pusat Statistik memperkirakan kondisi ini akan berlangsung hingga sekitar tahun 2035 sebelum Indonesia menua. Dalam teori pembangunan, inilah fase paling menguntungkan dalam sejarah demografi bangsa sebab tingginya angka manusia yang produktif bisa menjadi langkah yang tepat dan bisa jadi langkah yang salah bila kita gagal di dalam melakukan treatment untuk sebuah bonus demografi tersebut. Tapi di balik keyakinan itu semua tersimpan ilusi besar apakah kita benar-benar sudah siap atau belum mengubah peluang itu menjadi sebuah kekuatan untuk berkemajuan.

Tapi kalau kita lihat fakta objektif di lapangan masih ketimpangan nya akses pendidikan antara desa dan kota lamban nya penanganan bidang peningkatan SDM melalui pendidikan,kesehatan dan ekonomi bukan hanya itu angka putus sekolah kian melambung tinggi ,penyediaan lapangan pekerjaan yang kurang memadai bahkan sampai ke tahap PHK terjadi di mana-mana hal ini bisa kita katakan dan diindikasikan pemerintahan belum mengoptimalkan kemampuannya untuk melakukan political will untuk mengelola hal- hal yang menjadi penunjang sebuah bonus demografi tersebut yang hanya adalah ilusi semata .

Menurut data BPS dalam analisis profil penduduk 2024 mencatat kelompok usia muda 15–34 tahun menyumbang lebih dari 31 persen populasi, sementara usia produktif madya 35–59 tahun sekitar 33 persen. Dengan total penduduk mencapai 281 juta jiwa, artinya lebih dari 180 juta orang Indonesia sedang berada di masa paling produktif dalam hidupnya. Rasio ketergantungan kini berada di titik terendah sekitar 44 persen artinya apa setiap 100 orang usia produktif hanya menanggung 44 orang nonproduktif. Angka-angka ini seharusnya menjadi bahan bakar pertumbuhan ekonomi, tapi realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Pengangguran terbuka masih terbuka lebar bahkan bertahan di kisaran 5,3 persen per Agustus 2025, dan jutaan lulusan muda dan sarjana belum juga terserap pasar kerja. Namun di sisi lain, industri terus berteriak kekurangan tenaga terampil. Hanya 19 persen tenaga kerja Indonesia yang memiliki keterampilan digital memadai, menurut laporan Katadata 2024.

Pemerintah begitu gemar menggaungkan bonus demografi sebagai simbol harapan. Kata “bonus” seolah menjadi jaminan otomatis bagi masa depan yang makmur. Namun kenyataan menunjukkan jurang yang menganga antara retorika dan realita kondisi kita yang ada di indonoesia. Sistem pendidikan masih terjebak pada pola lama menjejali kepala siswa dengan teori tanpa membekali mereka keterampilan hidup dan adaptasi teknologi. Lulusan perguruan tinggi berlimpah, tapi banyak yang kehilangan arah di pasar kerja yang menuntut kecepatan, inovasi, dan kecakapan digital. Ketimpangan kualitas sumber daya manusia juga tak bisa diabaikan.

Pulau Jawa dan Sumatera, yang lebih dulu menikmati masa bonusnya, kini mendekati akhir. BPS mencatat beberapa provinsi seperti Sumatera Barat dan Jawa Tengah akan mengakhiri periode bonus demografinya dalam waktu kurang dari sepuluh tahun. Sementara wilayah timur seperti Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua baru memasukinya sayangnya tanpa kesiapan infrastruktur pendidikan dan ekonomi yang memadai. Generasi muda di kota belajar tentang kecerdasan buatan dan analisis data, tapi di banyak desa, anak-anak masih berjuang menemukan sinyal untuk belajar daring. Ini bukan sekadar ketimpangan wilayah, tapi potret ketidaksiapan struktural sebuah bangsa menghadapi masa depan.

Bonus demografi seharusnya menjadi momentum untuk mempercepat modernisasi. Negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang memanfaatkan masa bonusnya untuk membangun industri, memperkuat pendidikan, dan menumbuhkan inovasi teknologi. Kini mereka menua, tapi tetap sejahtera karena fondasi produktivitas sudah tertanam kuat. Indonesia, sebaliknya, berisiko menua sebelum kaya fenomena yang disebut “getting old before getting rich”. Pertumbuhan ekonomi stagnan di kisaran lima persen selama satu dekade terakhir, dan rata-rata lama sekolah warga masih di bawah sembilan tahun. Bonus yang dibanggakan itu bisa berubah menjadi beban sosial jika generasi muda tak punya daya saing.

Kita perlu mengubah cara pandang. Bonus demografi bukan soal jumlah, melainkan kualitas. Pemerintah harus berani menempatkan manusia sebagai investasi utama pembangunan. Dengan melakukan intervensi dalam dunia Pendidikan yang mesti harus bertransformasi dari hafalan menuju keterampilan, dari rutinitas menuju kreativitas. Pelatihan vokasi harus diperluas, bukan hanya di kota besar tapi hingga pelosok desa. Industri perlu diberi insentif untuk membuka lapangan kerja inovatif yang memberi ruang bagi anak muda berintelektual. Selain itu, kebijakan keluarga berencana, kesehatan, dan perlindungan sosial perlu diperkuat agar tenaga produktif tumbuh sehat dan berdaya. Tanpa itu semua, angka produktif hanya menjadi statistik kosong dan omong kosong saja yang menipu diri sendiri.

Dan ketika kita berbicara Bonus demografi adalah peluang langka yang datang sekali dalam sejarah suatu bangsa yang tidak bisa memanfaatkan nya maka bangsa tersebut akan jatuh ke lembah kenestapaan dan kesengsaraan dan Ia bisa menjadi pintu menuju kemajuan atau jalan sunyi menuju kekecewaan kolektif. Indonesia pada saat ini berada di persimpangan apakah akan menulis sejarah sebagai negara yang memanfaatkan bonusnya untuk melesat, atau sebagai bangsa yang kehilangan momentum karena terlena dengan ilusi angka. Satu dekade ke depan akan menjadi penentu. Jika kita gagal menyiapkan manusia di balik statistik, maka yang tersisa hanyalah generasi lelah muda dalam usia, tapi tua dalam dalam harapan maka dari itu pemerintah harus benar-benar memperhatikan dan membuat langkah-langkah strategis untuk benar benar mengupayakan dan mengwujudkan kesempatan langkah tersebut yaitu bonus demografi dengan mengahdirkan kerja-kerja nyata yang berpihak lagi pada pemuda.

Share Konten

Opini Lainnya

b2933403-15a0-4d99-acc9-00e5a7c644c8
Ketika Pelajaran Sekolah Menyelamatkan Nyawa.
00e38094-709c-4290-9114-a1114e54b60a
Kebijakan Pertanian : Peluang Generasi Muda dan Masa Depan Indonesia
962faf62-2d6b-4a1b-b248-cdfd67cfa972
Nexus: Ketika Jaringan Informasi Menjadi Arena Politik Peradaban
2e12a1c3-353e-453b-bc48-ed0418db2ed9
Raja Ampat dan Geopolitik Sumber Daya Alam: Di Antara Surga Ekologi dan Tarikan Ekonomi Global
6ce775bb-a2c5-4ce4-af47-629de78123fe
LKIII BADKO PAPUA BARAT - PAPUA BARAT DAYA: KEDAULATAN SDA MINERAL KRITIS
9914b5ac-eb0b-45f7-8a0c-c89cff75166f
Presiden tolong buatkan kami jembatan agar kami nyaman kesekolah. Seorang anak pelosok meminta lansung dibuatkan jembatan terhadap presiden.
abff4d92-1a71-496d-9412-afd1404a8a41
LK III BADKO HMI PAPUA BARAT - PAPUA BARAT DAYA: KAPITALISME DIGITAL & SEMESTINYA KADER HMI BERSIKAP
bfaac97f-6e5c-4768-8b85-928a191d4b8b
28 November: Peringatan yang Kita Diamkan, Dampak yang Kita Rasakan
129ecf4e-c0b8-490c-abd6-68d5ee5c90a9
Demokrasi Digital: Ketika Warganet Lebih Berkuasa daripada Wakil Rakyat
f5c639ef-caf2-4279-ba6a-0e03efec1061
Refleksi Akhir Tahun Kabinet Merah Putih: Krisis Legitimasi Rakyat hingga Krisis Ekologi
Scroll to Top