ruminews.id – Panggung ekonomi-politik Indonesia memang selalu menarik untuk diamati, terutama karena pemain utamanya jarang benar-benar berganti.
Dulu, istilah “9 Naga” sempat populer sebagai simbol sekelompok taipan yang diyakini mengendalikan denyut ekonomi nasional. Mereka tak banyak bicara, tapi perputaran uang di negeri ini kerap mengikuti arah langkah mereka. Dari tambang hingga pangan, dari ekspor hingga impor, semua seolah tak lepas dari kendali tangan-tangan halus di balik layar.
Kini, muncul istilah baru yang ramai dibicarakan, yaitu “9 Haji”. Bukan ustaz, bukan penceramah, tapi para pengusaha Muslim lokal yang sukses luar biasa.
Mereka bukan pemain global seperti para naga, tapi memiliki pengaruh kuat di wilayah domestik. Menguasai sektor-sektor vital seperti properti, konstruksi, energi, hingga perdagangan kebutuhan pokok.
Mereka kerap tampil religius, sederhana, dan nasionalis, namun jaringan bisnisnya menembus hingga ke lingkar kekuasaan.
Bedanya dengan “naga” bukan pada watak kapitalismenya, tapi pada gaya berbisnisnya yg lebih hangat, lebih lokal, dan lebih lihai membaca sentimen umat.
Dan di era digital ini, muncul pula generasi baru yang disebut “9 Aktor”. Para pengendali narasi.
Mereka tidak berbisnis tambang atau properti, tetapi persepsi publik.
Mereka membentuk opini, menciptakan wacana, dan memainkan emosi massa.
Mereka tahu, di era algoritma, satu kalimat viral bisa lebih berharga daripada satu ton batu bara.
Mereka menjual influence, bukan barang. Tapi efeknya sama yaitu kekuasaan berpindah tangan tanpa rakyat sempat menyadarinya.
Demokrasi kita pun pelan-pelan berubah menjadi panggung besar yang diproduksi oleh tiga lapis kekuatan tersebut.
Naga yang menguasai hulu ekonomi, Haji yang menguasai pasar domestik, dan Aktor yang menguasai pikiran rakyat.
Mereka bertemu di satu titik kepentingan yang sama yakni stabilitas untuk bisnis, bukan keadilan untuk publik.
Sementara rakyat sibuk memperdebatkan simbol-simbol politik, para pemain lama sudah saling berbagi peran di belakang layar. Yang satu mengatur harga, yang lain mengatur wacana, sisanya mengatur arah kebijakan. Dan seperti biasa, rakyat hanya mendapat sisa tepuk tangan dari panggung yang tak pernah mereka tulis naskahnya.
Ironinya, negeri ini tampak semakin religius di permukaan, tapi semakin oligarkis di dalamnya.
Label “Haji” kini tak sekadar tanda ibadah, tapi juga simbol status dan jaringan ekonomi.
Dan bila dahulu “Naga” menguasai karena modal, kini “Haji” menyaingi mereka lewat network berupa jaringan keagamaan, politik, dan sosial yang menyatu rapi dalam semangat dagang yang dibungkus nilai-nilai moral.
Oligarki di Indonesia bukan punah tapi berevolusi.
Dari “9 Naga” ke “9 Haji”, dan kini mungkin menuju “9 Aktor”.
Mereka tidak lagi bersembunyi, karena kini oligarki telah menjadi bagian dari sistem itu sendiri yg lengkap dengan doa pembuka rapat dan pencitraan di media sosial.
Dan selama rakyat masih memilih dengan perasaan daripada pemahaman, maka setiap periode kita hanya akan menyaksikan satu hal; Nama-nama boleh berganti, tapi sembilan kursi kekuasaan itu tak pernah benar-benar kosong.