OPINI

Gubernur Geruduk, Purbaya Tak Gentar Menunduk

ruminews.idMenkeu Purbaya semakin mencuri perhatian publik. Usai nyentil Luhut, dikeroyok anggota DPR RI, sekarang belasan gubernur menggeruduknya. Menteri koboi ini tak mudah tunduk, kecuali ke RI 1. Sambil menunggu laga akbar Timnas vs Arab Saudi, simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Jakarta hari itu terasa seperti panggung sandiwara fiskal. Belasan gubernur berdasi datang beriringan ke Kementerian Keuangan, wajah tegang tapi langkah mantap, seperti rombongan pahlawan daerah yang hendak menuntut keadilan dari pusat. Mereka menggeruduk Purbaya Yudhi Sadewa, sang Menkeu baru yang dikenal dingin seperti angka, tajam seperti excel, dan hemat seperti spreadsheet kosong. Isinya satu, protes. Katanya, anggaran daerah dipotong. Dana Transfer ke Daerah (TKD) susut, Dana Bagi Hasil (DBH) menyusut. Bahkan, janji pembangunan ikut menguap bersama aroma kopi di ruang rapat.

Namun Purbaya tak gentar. Di depan barisan gubernur yang berapi-api, ia tetap duduk tegak, seperti Socrates di hadapan murid-muridnya yang sedang marah karena tak mengerti logika. “Bapak-bapak,” katanya tenang, “APBN bukan sumur tanpa dasar. Uang negara bukan daun jambu yang bisa tumbuh tiap pagi. Kalau penerimaan menurun, belanja pun harus ikut menunduk.” Suaranya pelan, tapi terasa seperti palu anggaran yang memukul meja wacana dengan nada final.

Para gubernur sontak berpaling ke satu sama lain, seperti baru sadar bahwa pusat bukan semesta pencetak duit. Mereka lupa, barangkali terlalu lama hidup di masa di mana setiap permintaan dianggap kewajiban, setiap proyek dianggap kebutuhan, dan setiap defisit dianggap musibah yang bisa diselesaikan dengan pinjaman. Ada yang menyebut pemotongan sampai 30 persen, bahkan 60 persen di beberapa kabupaten. Angka-angka itu berhamburan di media, seolah anggaran adalah kue ulang tahun yang tiba-tiba dicuil tanpa izin.

Tapi Purbaya bukan orang yang mudah tersentuh drama. Ia tahu, di balik setiap faksimili protes, ada tabel serapan anggaran yang mangkrak, proyek mangap, dan laporan keuangan yang tak rampung. Ia tahu juga sebagian daerah masih gemar membangun tugu dan gapura lebih dulu sebelum memperbaiki jalan dan jembatan. Maka, ketika ia bilang “daerah harus memperbaiki kinerja belanjanya,” sebenarnya itu bukan teguran, itu pengingat filosofis bahwa uang negara bukan untuk memperindah baliho, tapi menyejahterakan rakyat.

Lucunya, para gubernur berdalih, gaji PPPK dan honorer kini ditanggung daerah, seolah pusat lepas tangan. Padahal, pusat sudah menyalurkan DAU dengan mekanisme yang disusun rapi. Masalahnya, banyak daerah yang mengira uang itu bisa dipakai sesuka hati, lalu kaget ketika harus menggaji pegawai sendiri. Ini seperti orang beli mobil mewah tapi minta bensin gratis seumur hidup. Filosofi Purbaya sederhana, siapa mengangkat pegawai, dia pula yang harus mampu menggajinya. Bukan soal kejam, tapi soal logika pengelolaan publik yang sehat.

Rapat itu akhirnya berakhir tanpa teriakan, hanya desah panjang yang tersisa. Gubernur pulang membawa janji, pusat akan “mempertimbangkan” penyesuaian jika kondisi fiskal membaik. Tapi publik yang menonton tahu, di balik wajah dingin Purbaya, ada sikap tegas yang membuat rakyat kecil justru lega. Untuk pertama kalinya, seorang Menkeu tidak berperan sebagai mesin pencetak “uang kasihan”, melainkan penjaga akal sehat anggaran.

Karena begitulah filsafatnya, negara yang selalu meminta tanpa mau memperbaiki diri akan berakhir seperti kapal bocor yang terus memaki air laut. Purbaya mungkin keras, tapi justru karena ia tak mau negeri ini tenggelam oleh kebiasaan merengek. Dalam teater fiskal yang penuh drama ini, dia bukan pemeran jahat, dia adalah penjaga naskah agar pertunjukan tetap waras. Bagi rakyat yang paham logika neraca, suara paling jernih bukan yang berteriak minta dana, tapi yang berani berkata, “Belanjakan dengan benar dulu.”

Share Konten

Opini Lainnya

759c926a-8e1f-402a-8479-70664459fb9d
10 Catatan Kritis HMI Sulsel Sambut Kedatangan Menteri Kehutanan
IMG-20251008-WA0001
Asistensi Mengajar Mandiri: Inovasi Kampus Menjawab Keterbatasan Kebijakan dan Menguatkan Nilai Sosial Calon Guru
IMG-20251007-WA0033
Ikhtiar, Takdir, dan Misi Kader HMI dalam Menjawab Tanggung Jawab Zaman
f5563536-316d-41d3-a4aa-3491fbf6cf0f
Fenomena Kanda Karca: Belajar dari Senior untuk Melihat Dunia
b03bfafc-3c92-444e-9393-3368a865adb1
Makan Bergizi Gratis, “Cobra Effect” dan Sabotase?
IMG-20251005-WA0093
Menyambut Era Algoritmokrasi Ekonomi
585f3145-5819-44ef-a611-a3f5ed7eb9c9
Alibi Dangkal Menteri HAM: Keracunan MBG Bukan Pelanggaran HAM?
4bd17c9f-4ec6-4fab-bd95-228fc0fb09ae
Fenomena Parodi Kanda Karca: Belajar Dunia dari Bayangan Senior
8fe7918e-177d-48d8-bc39-eeb0af748504
MBG: Modus Baru Genosida
2e2991d0-76c3-4c3a-b9ed-4df50e3f88b6
Kelangkaan BBM di Daerah: Jejak Kebijakan yang Membakar Asa Rakyat
Scroll to Top