ruminews.id – Sebagai sebuah kebijakan publik, sebetulnya Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah wujud kehadiran negara dalam keadilan gizi. Karena itu secara substansi, tak ada problem dengan kebijakan ini. Tentu kita juga percaya dengan maksud baik di baliknya.
Tapi, sebagai suatu kebijakan publik, kita juga tentu menyadari kalau tidak selalu kebijakan itu berjalan sesuai niat awalnya. Ada kalanya, niat baik justru melahirkan dampak sebaliknya, yaitu dampak buruk, bahkan kontraproduktif. Fenomena inilah yang dikenal dengan istilah “Cobra Effect”.
Kisahnya sudah masyhur. Pada masa kolonial Inggris di India, pemerintah dibuat resah oleh banyaknya ular kobra berbisa di Delhi. Mereka kemudian membuat kebijakan sederhana, yaitu memberi hadiah kepada setiap warga yang menyerahkan bangkai kobra. Sekilas, kebijakan itu berjalan efektif. Populasi kobra menurun drastis.
Namun, tak lama kemudian warga menemukan “celah” untuk memanfaatkan situasi. Mereka mulai beternak kobra dengan sengaja, agar bisa menyerahkan bangkainya dan memperoleh hadiah. Ketika pemerintah menyadari penyimpangan itu, kebijakan dihentikan. Sayangnya, para peternak kobra terlanjur memiliki banyak stok ular. Alih-alih dimusnahkan, ular-ular itu dilepaskan kembali ke alam. Hasilnya? Populasi kobra justru melonjak lebih banyak dari sebelumnya.
Sejak itu, cerita ini menjadi peringatan klasik bagi para perancang kebijakan, bahwa sebuah niat baik bisa berubah menjadi bumerang jika tidak disertai perhitungan matang.
Program MBG dan Potensi Cobra Effect
Di Indonesia, pemerintah tengah meluncurkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai salah satu janji politik presiden terpilih. Gagasan ini tentu dilandasi niat mulia, yakni meningkatkan gizi anak sekolah, menekan angka stunting, serta membangun generasi sehat dan produktif. Tidak ada yang menolak cita-cita luhur tersebut.
Namun, sebagaimana pepatah “jalan ke neraka juga dipenuhi dengan niat baik”, maksudnya ada banyak orang yang memiliki niat baik, tapi karena dilaksanakan dengan tidak baik, ya ke neraka juga akhirnya.
Begitulah juga dengan kebijakan tanpa perencanaan dan tata kelola yang cermat, bisa saja berpotensi berubah menjadi Cobra Effect. Karenanya kita perlu bertanya, apakah program ini benar-benar akan meningkatkan kualitas gizi, atau justru membuka ruang bagi praktik yang merusak tujuan awalnya?
Risiko nyata sudah muncul. Pertama, degradasi gizi. Kritik dari para ahli gizi, salah satunya dr. Tan Shot Yen, mengungkapkan banyak menu MBG yang disiapkan tanpa standar gizi ketat, bahkan cenderung mengandalkan produk instan dan kemasan. Mungkin anak-anak akan kenyang, tapi kenyang belum tentu sehat, apalagi bergizi, inilah yang disebut malnutrisi terselubung.
Kedua, politik anggaran. Program MBG bukan proyek kecil. Pemerintah mengalokasikan Rp 71 triliun untuk 2025, awalnya untuk 17,5 juta penerima. Namun target diperluas menjadi 82,9 juta anak, membuat anggaran membengkak menjadi Rp 171 triliun. Proyeksi kebutuhan 2026 bahkan bisa mencapai Rp 335 triliun, atau sekitar Rp 1,2 triliun per hari jika seluruh target dijangkau. Dengan skala ini, peluang penyalahgunaan meningkat, dan niat baik bisa tersedot oleh praktik rente atau mark-up. Cobra effect bekerja disini, orang-orang akan mengambil untung dari program ini, dan akhirnya berujung program buntung.
Ketiga, ketimpangan kebutuhan gizi antarwilayah. Penurunan stunting nasional memang positif, yaitu 19,8 persen tahun 2024, turun dari 21,5 persen pada 2023. Namun angka ini tidak merata. NTT masih tinggi di 37 persen, sedangkan Bali hanya 8,7 persen. Jika MBG diterapkan seragam di seluruh wilayah, porsi sekolah di kota besar yang relatif sejahtera akan sama dengan sekolah di daerah miskin. Akibatnya, sumber daya tidak diarahkan ke yang paling membutuhkan.
Keempat, budaya ketergantungan. Tanpa pendekatan edukatif, program makan gratis bisa membentuk mental instan, bahwa negara selalu hadir untuk menyiapkan makanan. Padahal tujuan jangka panjang kebijakan gizi adalah mendorong kemandirian keluarga dan komunitas. Karena itu intervensi berupa pembinaan keluarga, UMKM berupa kantin sekolah yang justru penting.
Kelima, keberadaan kasus nyata memperkuat kekhawatiran ini. Hingga September 2025, menurut data Kompas, lebih dari 6.400 anak dilaporkan mengalami keracunan akibat MBG. Di Jawa Barat saja, lebih dari 1.000 anak terjangkit. Pemerintah menyebut bahwa ketidakpatuhan dalam standar kebersihan, penggunaan bahan rusak, serta distribusi yang lemah menjadi faktor penyebab. Fakta ini menunjukkan bahwa risiko buruk bukan lagi hipotetis, efek bumerang sudah mulai terasa.
Cobra Effect dan Sabotase?
Pelajaran dari kobra Delhi manandaskan satu hal, kebijakan publik tidak cukup hanya berdasarkan niat baik. Pemerintah kolonial saat itu hanya melihat masalah di permukaan, banyaknya ular, tanpa memprediksi perilaku warga. Ketika warga mulai memelihara kobra demi hadiah, niat baik berubah menjadi masalah baru.
Untuk menghindari efek buruk, MBG sebaiknya dijalankan secara asimetris, fokus pada masyarakatyang mengalami stunting, kemiskinan ekstrem, atau keterbatasan akses pangan. Program juga harus berbasis pangan lokal, dengan melibatkan petani, nelayan, dan UMKM agar sekaligus memperkuat ekonomi lokal. Lidah anak-anak juga sudah akrab dengan menu tersebut, gizinya saja yang perludiintervensi.
Selain itu, edukasi gizi sangat penting. Anak-anak, orang tua, guru dan kantin perlu memahami nutrisi agar kebiasaan makan sehat terbentuk berkelanjutan. Tanpa edukasi, makan gratis hanya solusi sesaat.
Pengawasan dan ketegasan harus menjadi fondasi utama dalam pelaksanaan program MBG. Setiap kesalahan, sekecil apa pun, harus ditindak tegas, tidak ada toleransi, ini soal nyawa, soal keselamatan. Tidak cukup pemerintah hanya memberi peringatan atau beralasan bahwa ada pihak yang mempolitisasi, mensabotase, atau bahkan campur tangan asing. Semua alasan “cuci tangan” itu tidak relevan jika menyangkut keselamatan dan gizi anak-anak bangsa.
Pemerintah memiliki seluruh instrumen hukum dan mekanisme pengawasan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, setiap pelanggaran, baik yang terjadi di dapur penyedia makanan, yayasan pengelola, vendor catering, pengawas lapangan, maupun pihak terkait lain, harus diberikan sanksi yang jelas dan tegas. Tidak ada ruang untuk pembiaran, kompromi, atau penundaan tindakan. Hukum harus berbicara, bukan sekadar komentar.
Yang perlu diingat, kebijakan ini bukan lah proyek politik atau program bisnis. Program makan bergizi untuk anak-anak harus dijalankan dengan prinsip zero accident. Artinya, setiap risiko harus diantisipasi, setiap prosedur dijalankan sesuai standar, dan setiap pelanggaran diberi konsekuensi hukum. Keselamatan, kesehatan, dan kualitas gizi anak-anak bukanlah hal yang bisa dinegosiasikan, mereka adalah prioritas mutlak.
Dengan pengawasan yang ketat, tindakan hukum yang tegas, dan komitmen untuk zero accident, program MBG baru bisa mencapai tujuan sebenarnya, yaitu anak-anak sehat, gizi terpenuhi, dan masa depan generasi bangsa terlindungi.