OPINI

Mengatasi Fragmentasi Sosial: Strategi Kolaboratif HMI dalam Merajut Gerakan Mahasiswa

ruminews.id, Globalisasi dan era digital seharusnya memberi ruang luas bagiintegrasi sosial, namun kenyataan justru memperlihatkansebaliknya. Di tengah derasnya arus informasi, kita menyaksikanmasyarakat yang semakin terpecah ke dalam kelompok-kelompok homogen. Algoritma media sosial membentuk ruanggema, mempersempit perjumpaan lintas perspektif, dan memperkuat polarisasi. Fragmentasi sosial itu pun merembeshingga ke dunia mahasiswa, kelompok yang seharusnya menjadipelopor integrasi dan pembaharu bangsa.

Kita tahu, mahasiswa dalam sejarah Indonesia selalu hadirsebagai penentu arah zaman. Dari Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, hingga Reformasi 1998, suaramahasiswa adalah penanda pergeseran besar dalam perjalananbangsa. Namun hari ini, kita menyaksikan sebuah ironi. Gerakan mahasiswa yang dahulu dipuji sebagai agent of change kinijustru sibuk dengan rivalitas kecil, perebutan isu, dan egoismeorganisasi. Fragmentasi membuat gerakan kehilangan dayapukul kolektifnya, sehingga tak lagi menakutkan bagi penguasa. Demonstrasi bisa dibubarkan, kritik bisa diabaikan, sebab negara tahu suara mahasiswa tidak lagi solid.

Kondisi ini tidak lahir begitu saja. Pasca-Reformasi, mahasiswakehilangan musuh bersama yang dahulu merekatkan. Saat Soeharto tumbang, perekat itu lenyap, dan energi kolektif yang sebelumnya terkonsolidasi kini menyebar ke berbagai agenda sektoral. Lebih parah lagi, logika neoliberal mendorongindividualisme, menjadikan banyak mahasiswa lebih fokus pada karier dan kepentingan pribadi ketimbang perjuangan kolektif. Akibatnya, ruang kolaborasi makin menyempit, sementaraprasangka dan perpecahan makin menguat.

Ideologi yang seharusnya menjadi arah perjuangan justru seringmenjadi tembok penghalang. HMI dengan identitaskeislamannya, GMNI dengan marhaenismenya, PMKRI denganbasis Katolik, atau KAMMI dengan Islamismenya, masing-masing berjalan sendiri. Perbedaan tafsir yang kaku membuatmereka sulit menemukan titik temu. Padahal, isu-isu besarbangsa seperti ketidakadilan ekonomi, kemunduran demokrasi, hingga krisis iklim adalah masalah struktural yang seharusnyabisa mempersatukan. Alih-alih, kita lebih sering menyaksikanbarisan yang terpecah, aksi-aksi yang tidak berkesinambungan, dan gerakan yang terjebak dalam aktivisme performatif sekadarmencari panggung media.

Di tengah situasi ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebenarnya memiliki posisi unik. Sejak didirikan oleh Lafran Pane pada 1947, HMI mengemban komitmen ganda: keislamandan keindonesiaan. Komitmen itu memberi legitimasi gandapula: HMI bisa berbicara dengan kelompok religius maupunnasionalis. Lebih jauh, Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi landasan ideologis HMI menawarkan kerangkauniversal tentang kemanusiaan, keadilan sosial, dan kemerdekaan manusia. Nilai-nilai ini sejatinya kompatibeldengan Pancasila, Marhaenisme, maupun diskursus hak asasimanusia. Jika digunakan secara tepat, NDP bisa menjadijembatan ideologis yang menyatukan perbedaan antar organisasimahasiswa.

Namun HMI tidak bebas dari masalah. Perpecahan historis antara HMI Dipo dan MPO menjadi pengingat bahwa organisasiini juga rentan terhadap tekanan politik. Selain itu, kedekatandengan jaringan alumninya, KAHMI, sering memunculkandilema: di satu sisi memberi akses sumber daya dan kekuasaan, di sisi lain berisiko menyeret HMI dalam kepentingan pragmatiselit. Jika HMI ingin benar-benar menjadi katalis persatuan, iaharus berani menjaga independensinya, tidak membiarkanagenda moral organisasinya tersubordinasi oleh kepentinganpolitik alumni.

Di tingkat aliansi, kelompok Cipayung Plus menjadi contohparadoks legitimasi. Forum yang awalnya lahir sebagai wadahkomunikasi antar-Ormek kini justru kerap dituding telahkehilangan taji kritisnya. Kedekatan dengan kekuasaan membuatsebagian publik menilainya terkooptasi, sibuk berfoto denganpejabat ketimbang mengawal isu rakyat. Padahal, akses yang dimiliki Cipayung Plus seharusnya bisa digunakan untukmenyuarakan advokasi yang benar-benar kritis, bukan sekadarlegitimasi bagi penguasa. HMI dalam hal ini punya tanggungjawab moral untuk mendorong reformasi dari dalam: memperjuangkan rotasi kepemimpinan, transparansi audiensi, dan kode etik yang menjaga jarak kritis dari kekuasaan.

Jika HMI mampu menjalankan strategi kolaboratif dengankonsisten, ia berpotensi memutus rantai fragmentasi yang melemahkan gerakan mahasiswa. Kolaborasi berbasis nilaimelalui universalisme NDP dapat menjadi dasar dialog lintasideologi. Kolaborasi institusional dapat memperkuat aliansiformal seperti Cipayung Plus sekaligus merangkul masyarakatsipildari serikat buruh, lembaga advokasi hukum, hinggaorganisasi lingkungan. Sementara di tingkat kader, budayakolaboratif harus ditanamkan sejak awal melalui kurikulumkaderisasi dan ruang perjumpaan informal yang membangunkepercayaan lintas organisasi.

Gerakan mahasiswa kini berada di persimpangan jalan. Jalan pertama adalah tetap berjalan dalam fragmentasi, sibuk denganego dan simbol, hingga makin ditinggalkan publik. Jalan keduaadalah menempuh jalan persatuan, meski terjal, penuh gesekan, tetapi jauh lebih bermakna. HMI memiliki peluang historis untukmemimpin jalan kedua ini, bukan karena merasa superior, melainkan karena modal sejarah dan ideologinyamemungkinkan.

Fragmentasi bukan takdir. Ia bisa diatasi jika ada keberanianuntuk membuka ruang dialog, menyingkirkan egoisme, dan menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentinganorganisasi. Jika HMI berhasil menjalankan peran itu, ia tidakhanya menyelamatkan dirinya dari stagnasi, tetapi juga memberisumbangsih besar bagi demokrasi Indonesia. Sebab mahasiswa yang bersatu bukan sekadar suara bising di jalanan, melainkanpenentu arah masa depan bangsa.

Share Konten

Opini Lainnya

5b2b318c-d14f-4793-a98b-3f4c2da64b86
Bukan Sekadar Janji, MBG Adalah Langkah Revolusioner Membangun SDM Unggul
48fe7643-874c-4424-8db5-d682d63de2be
Ketika Tagar #BoikotTrans7 Menutupi Cermin
IMG-20251016-WA0082
Ketika Kemasan Lebih Dipercaya dari Kandungan
8e7925ba-492e-4d85-8cee-afe0fbf1826a
Hari Pangan, Kedaulatan Pangan : Dari Swasembada Menuju Ketahanan Berkelanjutan
4b5a934e-cdde-4267-8fbf-dac52985c670
Gubernur Geruduk, Purbaya Tak Gentar Menunduk
759c926a-8e1f-402a-8479-70664459fb9d
10 Catatan Kritis HMI Sulsel Sambut Kedatangan Menteri Kehutanan
IMG-20251008-WA0001
Asistensi Mengajar Mandiri: Inovasi Kampus Menjawab Keterbatasan Kebijakan dan Menguatkan Nilai Sosial Calon Guru
IMG-20251007-WA0033
Ikhtiar, Takdir, dan Misi Kader HMI dalam Menjawab Tanggung Jawab Zaman
f5563536-316d-41d3-a4aa-3491fbf6cf0f
Fenomena Kanda Karca: Belajar dari Senior untuk Melihat Dunia
b03bfafc-3c92-444e-9393-3368a865adb1
Makan Bergizi Gratis, “Cobra Effect” dan Sabotase?
Scroll to Top