ruminews.id Dari luar, dunia melihat konflik Iran dan Israel sebagai pertarungan dua kekuatan regional, satu mewakili “Republik Islam revolusioner”, dan satunya lagi mewakili “demokrasi sekuler” di jantung Timur Tengah. Namun narasi ini terlalu sederhana. Terlalu nyaman bagi media arus utama. Terlalu menguntungkan bagi pihak yang sesungguhnya mengatur panggung… Amerika Serikat.
Bila konflik ini adalah panggung drama global, maka Israel adalah aktor utamanya, Iran adalah lawan peran, dan Amerika adalah penulis naskah sekaligus sutradara di balik layar.
Sejak berdirinya Israel tahun 1948, Amerika telah menjadi pelindung utamanya, mulai dari pasokan senjata, bantuan dana miliaran dolar per tahun, hingga veto-veto terhadap resolusi PBB yang mengutuk agresi Israel. Tapi lebih dari sekadar sekutu, Israel adalah instrumen strategis Amerika untuk mengontrol Timur Tengah.
Ketika Amerika ingin menekan Irak, Iran, Suriah, atau Lebanon, Israel yang disuruh menggertak duluan. Jika ada serangan balasan, maka AS akan tampil seolah sebagai “mediator”, padahal mereka sudah mempersiapkan panggung konflik itu sejak awal.
Dalam kasus Iran, skenarionya lebih terang. Ilmuwan nuklir Iran dibunuh, fasilitas sipil disabotase, sanksi ekonomi diberlakukan hingga membuat rakyat kelaparan. Kelompok perlawanan pro-Iran diserang bertubi-tubi di Suriah dan Irak. Israel memang menjalankan operasi-operasi itu, tapi siapa yang memberi lampu hijau? Siapa yang menyuplai teknologi dan intelijen? Jawabannya hampir selalu sama, yakni; Amerika.
Ketika Iran membalas, AS langsung bicara soal “hak Israel untuk membela diri”. Padahal siapa yang menyerang lebih dulu? Inilah cara klasik mengatur narasi agar penindas selalu tampak sebagai korban.
Amerika tidak pernah benar-benar melupakan Iran sejak Revolusi 1979 menggulingkan boneka mereka, Shah Pahlavi. Di mata Washington, Iran bukan sekadar negara, tapi simbol pembangkangan terhadap hegemoni Barat. Sejak itu, AS terus mencari alasan untuk melemahkan Iran. Program nuklir dijadikan ancaman, dukungan Iran kepada kelompok perlawanan disebut terorisme, bahkan pengaruh kultural Iran di dunia Muslim dianggap subversif. Israel hanyalah alat taktis untuk membuka jalan ke konfrontasi terbuka.
Dan kini, dengan Iran membalas agresi Israel secara langsung untuk pertama kalinya dalam sejarah, AS mendapatkan pembenaran yang telah lama mereka cari. Opini dunia digiring agar Iran tampak sebagai pemicu, padahal mereka sudah diprovokasi selama puluhan tahun.
Tak cukup dengan memprovokasi konflik militer, Amerika juga memainkan kartu sektarianisme. Mereka tahu bahwa selama dunia Islam sibuk bertengkar antara Sunni dan Syiah, tidak akan ada perlawanan yang bersatu terhadap penjajahan dan imperialisme.
Maka ketika Iran membantu Palestina, narasinya segera dibalik: “Itu bukan solidaritas, itu hanya ekspansi Syiah.” Padahal, kelompok perlawanan seperti Hamas dan Jihad Islam Palestina adalah kelompok Sunni dan mereka sendiri yang mengakui dukungan Iran sebagai penyambung nyawa perjuangan mereka.
Dengan kata lain, AS memainkan Israel sebagai pisau di tangan kanan, dan adu domba mazhab sebagai belati di tangan kiri. Dua-duanya mengarah ke jantung dunia Islam.
Apa yang kita saksikan hari ini bukan sekadar konflik dua negara. Ini adalah strategi sistematis dari kekuatan besar untuk mempertahankan dominasi di kawasan kaya minyak, strategis secara geopolitik, dan berbahaya jika bersatu. Israel hanya pion. Iran adalah target. Dan Amerika, diam-diam adalah dalangnya.
Jika dunia terus terperangkap dalam narasi palsu ini, maka yang akan terus terbakar bukan hanya Gaza dan Teheran, tapi seluruh harapan umat untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa dikendalikan dari Washington.
Sebenarnya, Imam Khomeini sudah pernah memperingatkan kita tentang hal ini. Imam Khomeini, pendiri Republik Islam Iran, dengan tegas menyebut Amerika Serikat sebagai “Setan Besar” (al-Shaytan al-Akbar). Gelar tsb bukan sekadar julukan retoris, tetapi representasi dari imperialisme, arogansi kekuasaan global, dan dominasi yang menindas bangsa-bangsa lemah. Dalam salah satu pidatonya, ia berkata: “Amerika adalah Setan Besar. Setan yang menebarkan kehancuran, fitnah, dan kesesatan di seluruh penjuru dunia, terutama di negara-negara Islam.”
Bagi Imam Khomeini, sebutan ini lahir dari pengalaman pahit rakyat Iran terhadap intervensi Amerika dalam politik, ekonomi, dan kebudayaan, serta dukungannya yang membabi buta terhadap penjajahan Israel atas Palestina.
[Erwin]