OPINI

Polemik Pilrek Unhas dan Kesalahpahaman tentang Marwah Akademik

ruminews.id – DI TENGAH polemik Pemilihan Rektor Universitas Hasanuddin (Pilrek Unhas) akhir-akhir ini, muncul seruan agar publik “berhenti berpolemik”.

Salah satunya dari kawan saya, Rustan Ambo Asse, sosok dokter gigi spesialis Prostodonsia yang jauh mengabdi di Tanah Borneo Kalimantan Timur. Ia menulis artikel opini di TribunTimur yang tayang online pada Rabu (24/12) berjudul “Prestasi-prestasi Unhas di Tangan Jamaluddin Jompa dan Pemilihan Rektor Bukan Perebutan Kekuasaan”.

Beragam alasan Rustan menyerukan agar publik berhenti berpolemik tentang Pilrek Unhas. Diantaranya demi menjaga reputasi kampus, menghormati prestasi, hingga menghindari tudingan bahwa pemilihan rektor telah diseret menjadi arena perebutan kekuasaan.

Sekilas terdengar menenangkan. Namun justru di titik inilah persoalan mendasarnya bermula. Karenanya, sebagai sesama pegiat literasi sejak di kampus, saya terpanggil untuk menorehkan beberapa pemikiran kritis tentang seruan itu.

Kampus, sejak kelahirannya, bukan ruang steril dari perbedaan pandangan. Ia bukan pula ruang sunyi dari kritik. Universitas berdiri di atas tradisi dialektika, lokus perdebatan, pengujian argumen, dan keberanian mempertanyakan klaim kebenaran. Karena itu, ajakan untuk menghentikan polemik atas nama ketenangan dan soliditas justru berisiko menafikan hakikat akademia itu sendiri.

Kritik, selama disampaikan secara argumentatif dan berbasis kepentingan publik, bukan ancaman bagi universitas. Ia adalah mekanisme koreksi yang sah dan seharusnya dihargai.

Salah satu argumen yang dikedepankan adalah bahwa seluruh isu telah “terklarifikasi dengan jelas oleh pihak universitas”. Masalahnya, klarifikasi sepihak tidak pernah identik dengan kebenaran final. Dalam tata kelola yang sehat—baik dalam negara hukum maupun etika publik—kebenaran tidak ditentukan oleh pihak yang berkepentingan langsung, melainkan melalui mekanisme independen yang berwenang. Selama belum ada penilaian etik atau hukum dari otoritas yang sah, ruang kritik tetap legitimate.

Menganggap kritik sebagai selesai hanya karena ada klarifikasi internal sama saja dengan mencampuradukkan otoritas dengan kepentingan.

Lebih jauh, kritik yang muncul dalam momentum Pilrek sering kali dituding sebagai framing negatif, banal, atau tendensius. Tuduhan semacam ini terlalu menyederhanakan persoalan. Tidak semua kritik lahir dari niat buruk, dan tidak semua pertanyaan publik dapat direduksi sebagai serangan politik.

Dalam nalar akademik, kritik semestinya dibedah substansinya, apakah ia berbasis data, logis, dan relevan. Menyamaratakan seluruh kritik sebagai framing adalah bentuk generalisasi yang justru tidak akademik.

Ada pula argumen bahwa jika kritik itu konstruktif, seharusnya disampaikan sejak lama, bukan saat Pilrek berlangsung. Pandangan ini mengabaikan fakta bahwa banyak isu justru muncul atau menjadi relevan karena momentum pemilihan rektor.

Etika publik tidak mengenal kadaluwarsa kritik. Selama isu belum tuntas secara prosedural dan etik, kritik akan tetap sah—kapan pun ia disampaikan.

Pilrek memang bukan sekadar perebutan kekuasaan, tetapi juga tidak bisa disucikan dari dimensi kekuasaan. Jabatan rektor di sebuah universitas dengan status PTN-BH, adalah posisi strategis dengan kewenangan besar yang menentukan arah kebijakan, pengelolaan anggaran, dan wajah institusi ke depan.

Menyebut jabatan rektor semata sebagai “tugas profetik” adalah ideal normatif yang indah, tetapi tidak otomatis menghapus kebutuhan akan pengawasan. Justru karena posisinya mulia dan strategis, maka standar etiknya harus lebih tinggi, bukan lebih kebal.

Prestasi Universitas Hasanuddin—baik dalam pemeringkatan internasional, capaian mahasiswa, maupun reputasi kelembagaan—patut diapresiasi. Namun prestasi tidak boleh dijadikan tameng untuk menutup pertanyaan tentang proses. Dalam prinsip tata kelola yang baik, output tidak pernah membenarkan cacat pada proses. Reputasi yang kuat justru menuntut transparansi yang lebih besar, bukan proteksi berlebihan dari kritik.

Soliditas yang dibangun dengan membungkam perbedaan bukanlah kekuatan, melainkan kerapuhan yang ditunda. Sejarah banyak institusi besar menunjukkan bahwa kemunduran sering kali berawal dari ketidakmauan mendengar kritik sejak dini, bukan dari kritik itu sendiri. Kampus yang kuat adalah kampus yang tahan uji, bukan kampus yang alergi terhadap pertanyaan.

Sebagai perguruan tinggi negeri, Universitas Hasanuddin adalah institusi publik. Ia hidup dari kepercayaan masyarakat, dana negara, dan partisipasi sivitas akademika serta alumni. Karena itu, publik memiliki hak moral—bahkan kewajiban—untuk bertanya, mengkritik, dan mengawasi proses penting seperti pemilihan rektor. Membingkai kritik sebagai bentuk ketidaksetiaan terhadap kampus adalah bentuk elitisme akademik yang tidak lagi relevan.

Pada akhirnya, polemik Pilrek Unhas bukan soal menggugat prestasi, apalagi membenci institusi. Tetapi justru merupakan upaya menjaga marwah universitas agar kepemimpinan lahir dari proses yang bersih, transparan, dan beretika. Kampus besar tidak boleh takut pada kritik. Ia tumbuh dan dewasa justru karena keberanian membuka diri terhadapnya.

Relakan Kami Padamu Negeri, Izinkan Kami Bagimu Pertiwi.

Almamater Universitas Hasanuddin, Karunia Ilahi (yang harus kita pertanggungjawabkan!)

Share Konten

Opini Lainnya

9aa2461c-5f63-476c-8fc0-6250648b7d52
Siapa yang Menentukan Awal Tahun?
8e3d92eb-5dab-4f49-b503-f7eb5d3a75dd
Endgame Tanpa Thanos: Ketika Ekonomi Kita Menjentik Alam Sendiri.
99255f33-0946-4330-b3ed-625ec5e65321
Transformasi Pendidikan: dari Sekelumit Masalah Struktural Menjadi Lebih Humanis
7a991a95-74ba-4865-9d20-fe13552dabb1
PeduliNomic: Menakar Euforia di Tengah Duka Bangsa
017936f7-7771-4e59-95a1-0565a635766d
Kritik di Pilrek Unhas: Bukan Menepuk Air, Melainkan Menguji Kedalamannya
98691a36-f922-4de4-ae0e-0024496607ae
Dialog yang Tak Menjawab: Mahasiswa Membaca Arah Kepemimpinan Tiga Calon Rektor Unhas
abda3364-2460-49b6-ba76-993c92f9e6f3
Homo Ludens di Balik Joystick
017936f7-7771-4e59-95a1-0565a635766d
Lucu! Ketika Klarifikasi Sepihak Diposisikan sebagai Kebenaran
017936f7-7771-4e59-95a1-0565a635766d
Kampus Bukan Zona Bebas Kritik
ab29cefe-49ca-48f8-a59d-adf2c00da05b
Belajar Pelan-Pelan di Kota yang Bergerak Cepat
Scroll to Top