ruminews.id – Akhir-akhir tahun ini, saya mulai melakukan sesuatu yang tampak sepele: berjalan kaki ke mana-mana. Bukan karena tidak punya kendaraan, tetapi karena ingin mencoba hidup dengan ritme yang berbeda. Yogyakarta, yang selama ini saya kenal sebagai kota ramah dan bersahaja, justru memperlihatkan wajah lain ketika saya menyusurinya dengan langkah kaki, bukan dari balik setang atau kemudi.
Awalnya, berjalan kaki adalah keputusan praktis. Untuk jarak dekat, menggunakan kendaraan terasa tidak efisien. Saya harus memikirkan parkir, membayar parkir, lalu kembali mengulangi proses yang sama di tempat lain. Dari situ saya mulai bertanya: mengapa untuk jarak yang bisa ditempuh sepuluh atau lima belas menit dengan berjalan, saya justru memilih cara yang lebih rumit dan mahal?
Namun, semakin sering saya berjalan kaki, alasannya tidak lagi sebatas efisiensi. Ada kesadaran baru yang tumbuh, bahwa berjalan kaki membuat saya benar-benar hadir di kota ini. Saya mulai memperhatikan hal-hal kecil yang sebelumnya terlewat: trotoar yang tidak selalu rapi, wajah-wajah orang yang lalu-lalang, suara kota yang lebih jujur terdengar ketika langkah melambat. Yogyakarta tidak lagi sekadar latar tempat, melainkan ruang hidup yang saya alami secara langsung.
Di titik ini, berjalan kaki menjadi praktik reflektif. Tubuh bergerak, pikiran ikut bekerja. Saya merasakan sendiri bagaimana aktivitas sederhana ini memberi efek pada kesehatan: tubuh terasa lebih ringan, pikiran lebih jernih, dan stres berkurang tanpa harus mencari cara yang rumit. Berjalan kaki seperti mengingatkan bahwa kesehatan tidak selalu harus diupayakan melalui sesuatu yang mahal atau kompleks.
Ironisnya, kebiasaan berjalan kaki bukanlah praktik umum di Indonesia. Rata-rata langkah harian masyarakat masih rendah, dan kendaraan bermotor sering menjadi pilihan utama bahkan untuk jarak dekat. Saya menyadari bahwa pilihan saya berjalan kaki sebenarnya adalah sikap kecil yang melawan arus kebiasaan. Namun justru di situlah letak maknanya: berjalan kaki menjadi bentuk kesadaran personal, sekaligus kritik diam-diam terhadap gaya hidup yang terlalu bergantung pada kecepatan.
Di Yogyakarta, pilihan ini terasa masuk akal. Kota ini tidak selalu ramah pejalan kaki, tetapi cukup manusiawi untuk dilalui dengan langkah. Berjalan kaki membuat saya menyadari bahwa waktu tidak selalu perlu dikejar. Ada nilai dalam melambat dalam memberi ruang bagi tubuh dan pikiran untuk beradaptasi dengan ritme yang lebih sehat.
Pada akhirnya, berjalan kaki bagi saya bukan sekadar soal mobilitas. Ia adalah investasi kesehatan, disiplin diri, dan cara baru memaknai kota. Setiap langkah adalah keputusan kecil yang, jika dilakukan terus-menerus, membentuk cara hidup yang lebih sadar.
Menjelang akhir tahun 2025, saya belajar satu hal sederhana namun penting, bahwa hidup tidak selalu perlu dipercepat. Kadang, ia justru menemukan maknanya ketika dijalani dengan berjalan kaki.