Ruminews.id – Ada kisah yang diam-diam membantah anggapan sinis bahwa pelajaran sekolah hanyalah beban hafalan dan angka di rapor. Kisah ini sederhana, nyaris seperti dongeng, tetapi faktanya nyata dan dampaknya memisahkan antara hidup dan mati.
Pada pagi 26 Desember 2004, Pantai Mai Khao di Phuket Thailand, tampak seperti surga liburan. Laut surut perlahan, pasir terbuka lebih luas dari biasanya, dan orang-orang justru berlarian mendekat, mengira alam sedang memberi tontonan gratis. Di tengah pemandangan itu berdiri seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun, Tilly Smith. Ia bukan peramal, bukan ilmuwan, apalagi pahlawan super. Modalnya hanya satu, pelajaran geografi di sekolahnya dua minggu sebelumnya.
Tilly mendadak gelisah. Laut yang surut drastis dan buih yang aneh bukanlah hal indah baginya. Ia mengenali pola itu. Di kelas, gurunya pernah menjelaskan tanda-tanda tsunami: air laut yang tiba-tiba mundur, perubahan warna, dan keganjilan yang sering disalahpahami sebagai fenomena biasa. Apa yang bagi banyak orang tampak “unik”, bagi Tilly justru berbunyi seperti alarm keras di kepalanya.
Ia berlari, memperingatkan orang tuanya, lalu staf hotel. Suaranya kecil, usianya muda, dan penampilannya jauh dari sosok yang biasanya kita dengar ketika bicara soal mitigasi bencana. Tetapi pengetahuan memberinya keberanian. Beberapa menit kemudian, pantai dikosongkan. Tak lama setelah itu, gelombang tsunami menghantam kawasan lain dengan kekuatan yang mematikan. Pantai tempat Tilly berdiri menjadi salah satu lokasi yang nyaris tanpa korban jiwa.
Di sinilah pelajaran itu menjadi metafisik sekaligus sangat konkret. Ilmu pengetahuan bukan sekadar isi kepala, melainkan cara membaca realitas. Para filsuf sejak Plato hingga Al-Farabi selalu menekankan bahwa pengetahuan adalah cahaya bagi tindakan. Namun dalam kisah ini, cahaya itu bukan untuk kontemplasi panjang tapi untuk keputusan cepat yang menyelamatkan ratusan nyawa.
Sering kali kita meremehkan pendidikan karena mengukurnya dengan standar sempit berupa nilai ujian, ijazah, atau gelar. Kita lupa bahwa pengetahuan sejatinya adalah alat bertahan hidup. Geografi yang dianggap “pelajaran hafalan” berubah menjadi kompas moral dan praktis. Ia mengajari seorang anak kapan harus berteriak, dan mengajari orang dewasa kapan harus mendengarkan.
Ironisnya, banyak tragedi justru terjadi bukan karena manusia tidak berilmu, tetapi karena mengabaikan ilmu. Kita hidup di zaman informasi melimpah, namun sering kalah oleh keangkuhan dan kebiasaan menyepelekan peringatan. Sementara seorang anak kecil, dengan kesederhanaannya, justru patuh pada apa yang ia ketahui dan berani bertindak.
Beberapa waktu setelah tragedi itu, dunia pun akhirnya mendengarkan. Tilly Smith diundang ke PBB dan berbagai forum internasional untuk menceritakan pengalamannya. Ia tidak datang sebagai ahli bencana, melainkan sebagai saksi hidup bahwa pendidikan dasar dapat menyelamatkan manusia. Di hadapan para pemimpin dunia, kisahnya dijadikan argumen kuat tentang pentingnya edukasi kebencanaan bagi anak-anak, bahwa pengetahuan tidak mengenal usia, dan kebijaksanaan bisa tumbuh dari ruang kelas paling sederhana.
Maka kisah Tilly Smith bukan hanya tentang seorang anak dan tsunami, tetapi tentang sebuah pesan universal bahwa setiap pelajaran di sekolah menyimpan potensi untuk menjadi penentu nasib. Tidak semua akan membawa kita ke mimbar PBB, tetapi semuanya bisa menyelamatkan seseorang, entah dari bencana alam, kesalahan berpikir, atau keputusan fatal. Pendidikan, ketika benar-benar hidup dalam diri manusia, bukan hanya mencerdaskan. Pendidikan dan ilmu pengetahuan bisa menjaga kehidupan itu sendiri.
[Erwin]