ruminews.id – Di persimpangan zaman, kita tersesat dalam puja-puja baru, bernama kapitalisme digital. Kehidupan keseharian akibatnya tidak sesederhana purba kala lagi. Rutinitas keseharian seperti kerja, kesukaan dan referensi mental dalam jamuan kapitalisme digital. Menyediakan dan menentukan tindakan narasi hidup kita. Ia membentuk hasrat, membelah perhatian, dan mengubah pengalaman menjadi komoditi. Setiap scroll, setiap klik, setiap like adalah data—bahan mentah yang diolah menjadi algoritma untuk membentuk budaya massal yang seragam. Jauh-jauh hari di abad 20, pemikir mazhab Frankfurt, Horkheimer dan Adorno sudah mengingatkan kita bahwa imbas dari sengkarut persimpangan ini adalah manusia teralienasi dan reifikasi. Teralienasi dalam makna tidak lagi menjadi makhluk sosial dan reifikasi bermakna sebagai benda-benda yang berhakikat komoditas semata, hal itu kemudian memunculkan industri budaya.
Industri budaya tak lagi lahir dari kegelisahan kreatif atau permenungan panjang, filosofis dan bernilai. Lahir dari pola konsumsi yang diprediksi mesin, direplikasi tanpa jiwa, dan disebar untuk memenuhi kuota. Yang intim kemudian menjadi pertunjukan, yang sakral menjadi konten, dan yang substansial lenyap dalam pusaran viralitas yang fana.
Dalam gelombang yang menggurita ini, suara individu tenggelam. Manusia direduksi menjadi profil, preferensi, dan pola perilaku. Kebudayaan, yang sejatinya adalah ruang dialektika untuk mencari makna, berubah menjadi pasar yang riuh rendah. Di pasar ini, perhatian adalah mata uang tertinggi. Dan untuk meraihnya, kedalaman dikorbankan, kompleksitas diratakan, yang kontroversial dijadikan umpan. Hasilnya adalah budaya yang terfragmentasi namun paradoksal. Kita merasa terkoneksi secara global, tetapi terasing dalam ruang gema yang hanya menggemakan apa yang sudah kita sukai. Kita disuguhi ilusi keberagaman, padahal didikte oleh logika kapital platform yang haus akan retensi dan konversi.
Di tengah arus persimpangan ini, organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hadir bukan dengan romantisismenya dalam perjuangan politis mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, hadir dan eksis dengan kerangka berpikir yang mencoba membaca zaman dengan kacamata Nilai Dasar Perjuangan (NDP), seperangkat nilai-nilai yang saling terkoneksi di tiap bagiannya. NDP bukan dogma beku; tetapi prinsip hidup para kader HMI yang menempatkan Tauhid sebagai poros. Dalam konteks kapitalisme digital, Tauhid ini menjadi benteng melawan penyembahan berhala-berhala baru. Penyembahan pada data, tren, efisiensi buta yang mengabaikan martabat. Ia mengingatkan bahwa di balik segala kalkulasi algoritmik, ada manusia yang punya hak untuk merdeka—tidak hanya sebagai konsumen juga komoditas, tetapi sebagai subjek yang berdaulat atas narasi hidupnya sendiri.
Melalui lensa NDP, tiap kader HMI mesti memahami nilai intelektualitas dan spiritualitas dalam yang kemudian mengembalikan liberasi dan humanisasi menemukan bentuknya yang kontekstual. Liberasi adalah pembebasan dari penjajahan baru oleh platform yang menguasai ruang publik dan privat, yang mengubah relasi menjadi transaksi. Humanisasi adalah upaya keras untuk tetap menempatkan akal budi, empati, dan kebijaksanaan kolektif di atas kepentingan komodifikasi. Peran kader HMI dalam mitigasi masifnya kapitalisme digital ini adalah dengan mengajak kembali pada kesadaran kritis, bahwa teknologi harus tunduk pada etika, bahwa kemajuan harus diukur dari sejauh mana ia memanusiakan, bukan mengeksploitasi. Ini berarti mendorong literasi digital yang bukan sekadar terampil menggunakan aplikasi, tetapi mampu mengurai kuasa di balik kode, mampu memilih yang substansial di tengah banjir konten, erosi pikiran dan berani membangun ruang kreatif otonom yang tidak sepenuhnya bergantung pada logika platform kapitalis.
Ini soal penentuan sikap. Apakah manusia hanya sekadar pengguna yang patuh, atau pencipta yang sadar. Kapitalisme digital dengan industri budayanya ingin kita tetap menjadi sumber data yang pasif. NDP, dalam tangan kader-kader yang faham, mengajak untuk membangun kesadaran bahwa kebudayaan sejati lahir dari kebebasan yang bertanggung jawab, dari upaya mencari kebenaran yang tidak bisa diukur dengan metrik, dan dari keberanian untuk merawat hal-hal yang dalam, meski tidak laku di pasar popularitas.
Akhirnya medan perjuangan tidak sebatas di jalanan dengan barikade, tetapi juga di ruang digital dengan kesadaran, di ruang diskusi dengan ketajaman analisis, dan dalam diri setiap kader yang menolak untuk dijual menjadi komoditi. Mungkin di situlah relevansi NDP untuk membebaskan, memanusiakan, dan mengangkat kembali martabat kemanusiaan, bahkan di alam maya yang dianggap kekinian ini.