Drama Kejahatan Agraria Menguat; APK Indonesia Mendesak Aparat Penegak Hukum dan Pemda Gowa Bertindak Tegas

ruminews.id, Gowa — APK Indonesia menegaskan bahwa argumentasi Penasehat Hukum tersangka mantan Lurah Tombolo terkait keabsahan penyitaan barang bukti dan dalih bahwa pungutan yang terjadi adalah “biaya hibah, bukan PTSL” merupakan bentuk manipulasi hukum yang tidak hanya keliru, tetapi berbahaya karena mencoba mengaburkan fakta dan struktur kejahatan agraria yang sedang ditangani aparat.

Sebagai lembaga whistleblower yang bertugas mengawasi integritas pelayanan publik, APK Indonesia menyatakan bahwa penyidikan perkara korupsi berada di bawah rezim lex specialis sebagaimana ditegaskan UU Tipikor, sehingga tindakan penyitaan oleh Polres Gowa tanpa penetapan pengadilan adalah sah, legal, dan konstitusional, sesuai Pasal 38 UU Tipikor jo. Pasal 39 KUHAP, serta konsisten dengan yurisprudensi Mahkamah Agung yang memandang bahwa korupsi adalah extraordinary crime yang memberikan kewenangan penyitaan cepat untuk mencegah hilangnya alat bukti.

APK Indonesia menilai bahwa fokus kasus ini tidak bertumpu pada perdebatan sempit terkait frasa kwitansi, melainkan pada konstruksi kejahatan agraria yang serius, pungutan liar, pengalihan hak tanah yayasan secara melawan hukum, penggunaan kantor lurah sebagai lokasi pungutan, manipulasi administrasi pertanahan, serta dugaan konversi ilegal tanah HGB yayasan menjadi milik pribadi melalui akta hibah fiktif. Belum lagi dugaan status tanah tersebut milik negara hingga tindakan penyerobotan lahan warga. Fakta bahwa kwitansi ditandatangani orang luar kelurahan tidak menghapus pertanggungjawaban pejabat, karena pungutan dilakukan di dalam kantor lurah, menjadikan pejabat bertanggung jawab secara hukum berdasarkan asas omission liability, doktrin agent by function, serta ketentuan Pasal 55 KUHP.

Dalih bahwa pungutan tersebut “bukan biaya PTSL” dipandang sebagai konstruksi narasi yang sengaja dibangun untuk memutus hubungan kausal peristiwa, namun secara substansi hukum bertentangan dengan asas ‘substantia non verba’ yang menilai perbuatan berdasarkan tujuan dan akibat hukumnya, bukan berdasarkan label administratif. Fakta bahwa pungutan tersebut berujung pada penerbitan sertifikat PTSL menegaskan bahwa seluruh rangkaian pungutan itu berada dalam orbit layanan PTSL yang berdasarkan Pasal 33 Permen ATR/BPN No. 12/2017 adalah bebas biaya. Karena itu, setiap pungutan dengan dalih apa pun, termasuk “biaya hibah”, tetap merupakan pungutan liar yang melanggar hukum.

APK Indonesia juga menyoroti dugaan hibah ilegal atas tanah yayasan berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) yang diubah menjadi kepemilikan pribadi. Praktik seperti ini secara terang melanggar asas nemo plus juris transfere potest quam ipse habet bahwa seseorang tidak dapat mengalihkan hak yang tidak dimilikinya. Hibah atas tanah badan hukum tanpa mekanisme pelepasan hak yang sah merupakan bentuk perbuatan melawan hukum yang membuka potensi pelanggaran UUPA, Pasal 263–266 KUHP terkait pemalsuan surat dan penyalahgunaan akta, serta Pasal 3 dan Pasal 12 huruf e UU Tipikor terkait penyalahgunaan kewenangan dan pemerasan dalam jabatan.

Lebih lanjut, APK Indonesia memandang bahwa argumen “pembayaran dilakukan secara suka rela” adalah justifikasi yang cacat secara konseptual. Dalam teori pemidanaan, pungli adalah delik formil, sehingga perbuatan telah selesai sejak pungutan dilakukan, tanpa memperhatikan kesediaan korban. Kerelaan masyarakat tidak menghapus sifat melawan hukum, karena dalam relasi pejabat–warga, kehendak warga tidak dianggap sebagai vrije wil (kehendak bebas), melainkan bentuk ketundukan terhadap relasi kuasa. Asas wederrechtelijkheid menegaskan bahwa suatu perbuatan tetap melawan hukum meski korban setuju, dan asas geen straf zonder schuld menempatkan kesalahan pada pelaku, bukan pada pihak yang dipungut. Dengan demikian, alasan “suka rela” tidak memiliki nilai pembenar maupun pemaaf dalam hukum pidana.

APK Indonesia juga menegaskan bahwa bukti petunjuk berupa pembagian kavling memperlihatkan adanya intensi sistematis untuk menguasai, mengalihkan, dan mengonversi tanah masyarakat maupun tanah yayasan untuk kepentingan kelompok tertentu. Pola ini konsisten dengan modus operandi mafia tanah sebagaimana dipetakan oleh Satgas Mafia Tanah melalui Perpres No. 23 Tahun 2021, sehingga kasus ini tidak dapat dipandang sebagai sengketa administratif biasa, melainkan sebagai kejahatan agraria yang terstruktur, sistematis, dan merugikan kepentingan publik.

“Upaya mengglorifikasi dalih hibah hanyalah cara untuk menutup skema pungutan liar dan manipulasi agraria yang telah berlangsung. Penyidik memiliki kewenangan penuh berdasarkan undang-undang untuk melakukan penyitaan tanpa penetapan pengadilan dalam kasus korupsi. Tidak ada ruang untuk memutarbalikkan hukum,” tegas Zulfikar, Ketua Bidang Riset dan Investasi APK Indonesia.

APK Indonesia mendesak Polres Gowa dan Kejaksaan Negeri Gowa untuk mengusut tuntas seluruh jaringan kejahatan agraria yang terlibat, mengingat fakta-fakta hukum telah menunjukkan adanya pola yang melampaui kesalahan individual. Lembaga ini juga meminta Pemerintah Kabupaten Gowa untuk bertindak aktif menegakkan asas rechtszekerheid (kepastian hukum) dan ordo publico (ketertiban administrasi), serta menjamin bahwa masyarakat tidak menjadi korban dari praktik mafia tanah.

“Ini bukan perkara sederhana. Ini adalah kejahatan agraria yang mengancam keadilan publik, integritas pemerintahan, dan kepastian hukum di Gowa. APK Indonesia berdiri bersama masyarakat dan mendukung penuh langkah-langkah tegas aparat penegak hukum untuk membongkar seluruh rantai pelaku tanpa pandang bulu. Pemda Gowa tidak boleh diam,” tutup Zulfikar (Aktivis LKBHMI Cabang Gowa Raya.

Scroll to Top