ruminews.id – Budaya senioritas didalam kampus masih marak terjadi, tempat yang semestinya menghadirkan pemikiran-pemikiran pembaharu, malah menjadi sarang orang-orang kolot yang gemar melakukan perpeloncoan. Fenomena ini mungkin terjadi di hampir semua perguruan tinggi di Indonesia.
Di Indonesia budaya senioritas berkonotasi negatif, ia sering dikaitkan dengan kegiatan perpeloncoan. Perpeloncoanberasal dari bahasa Jawa “pelonco” (kepala gundul), namun maknanya menjadi meluas ke arah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh senior kepada juniornya. biasanya perpeloncoan dialami oleh mahasiswa baru (Maba) yang sedang menjalani masa orientasi. Tidak hanya bagi maba, tindakan kekerasan ini akan dirasakan oleh siapapun yang statusnya sebagai junior.
Akar sejarah kekerasan ini dimulai pada tahun 1700an, Di Amerika Serikat, Susan Lipkins dalam bukunya Menumpas Kekerasan Pelajar dan Mahasiswa Menghentikan Perpeloncoan di Sekolah (2016). Menjelaskan bahwa kegiatan sejenis ospek terjadi ketika para mahasiswa Oxford University berkunjung ke Harvard sekitar 1700-an. Mereka memperkenalkan fagging–murid muda melayani murid yang lebih tua atau senior. Inilah awal budaya senioritas tumbuh di dalam kampus.
Di Indonesia perpeloncoan terdeteksi mulai ada pada tahun1898 hingga 1927 ketika masa kolonialisme belanda diSchool tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) yang kini telah bertransformasi menjadi Universitas Indonesia (UI). Pada masa itu, orientasi studi juga dijadikan sebagai suatu ajang perpeloncoan senior kepada juniornya.
Hingga sekarang, di era pasca reformasi dimana demokrasi yang menjadi DNA-nya yang salah satu tujuannya adalah menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM), masih sangat marak terjadi tindak perpeloncoan di dalam kampus. Padahal pada tahun 1998 salah satu elemen yang meruntuhkan kediktatoran rezim militerisme Soeharto ialah Mahasiswa itu sendiri. Namun, bagaimana mungkin praktik yang mengungkung kebebesan yang tidak sejalan dengan tujuan Demokrasi itu bisa masih tumbuh subur di dalam kampus. Kampus yang seharusnya menjadi tempat orang-orang kritis yang dipersiapkan untuk menciptakan perubahan sosial ke arah yang lebih berkeadilan justru banyak mempertontonkan tindakan yang tidak sewajarnya, dan juga akan sangat berpengaruh bagi masyarakat serta generasi kedepannya.
Dikutip dari laman gramediablog.com “Sebetulnya kegiatan orientasi studi serta pengenalan kampus ini telah ada sejak lama. Pada tahun 1898 hingga 1927, ospek ini telah diterapkan disalah satu institusi pendidikan yang ada yaitu diantaranya pada STOVIA, yang mana kampus ini kemudian berubah menjadi Universitas Indonesia setelah masa kemerdekaan Indonesia. Pada masa itu, orientasi studi ini dijadikan sebagai suatu ajang perpeloncoan senior kepada juniornya. Lalu, pada tahun 1927 sampai 1945 terdapat perubahan dalam pelaksanaan orientasi studi serta pengenalan kampus itu. Institutie Geneeskundige Hogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Kedokteran) juga melakukan ospek dengan lebih formal serta sifatnya tidak memaksa pada mahasiswa baru, jadi hanya akan dihadiri oleh mahasiswa baru yang mau mengikuti kegiatan itu saja”.
Namun secara sinoptik hari ini masih banyak kejadian atau peristiwa yang sering kali kita temui terkait perpeloncohan dan kekerasan dalam masa ospek. Hal tersebut dapat saya simpulkan bahwa arogansi dari penyelengaralah yang menjadi masalah dasar kenapa hal tersebut bisa kita jumpai dengan mudahnya, ospek yang hari ini saya sebut sebagai bagian dari kekerasan hanyalah implementasi dari budaya militerisme yang merasuk dalam batang tubuh organisasi kampus sebagai penyelengara ospek.
Senioritas adalah hasil dari reaksi antara budaya konservatis dan militerialisme dalam organisasi kampus maka saya menyatakan budaya ini harusnya kita tinggalkan sebelum banyak korban akibat budaya ini, sebagai penutup saya mengutip sedikit keresahan kawan-kawan yang belum berani mengatakan tidak pada senioritas ini, biarkan saja ketakutan datang saat petang tapi jangan sampai saat fajar datang kita tak berani menyerukan kebenaran atas penderitaan dan ketakutan yang kita alami.
Tapi realitasnya yang terjadi sekarang beberapa oknum mengatas namakan dan menenteng alibi-alibi pemberanan hanya untuk mempengaruhi dan mengambil kontrol terhadap juniornya, apalagi kalo bukan arogansi semata dan mencaplok gelar kakanda terhormat.
Saya mencoba lebih reflektif dengan keresahanku ini, karena saya yakin, saya tidak sendiri tapi saya mencoba menyampaikan melalui tulisan ini terkait keresahan yang mungkin dirasakan hampir semua mahasiswa baru, mau dia kaya-miskin, laki-perempuan, konglomerat-konglomelarat. Dan tentunya sudah banyak yang mengkritik budaya ini bukan hanya saya pribadi, hanya saja ketakutanku akan dianggap heroik bagi para pembaca.
Jika kalian yang menganggap hal yang saya lakukan adalah sebuah perlawanan, maka saya katakan hal ini adalah kerja spontanitas dari keresahan saya untuk menyampaikan jeritan tentang budaya mahasiswa, sebab budaya perpeloncohan mestinya hanyut bersama sejarah dan diluapkan oleh dentuman waktu.
Namun naasnya budaya ini masih dilanggengkan, sehingga hari ini ia masih bertahan dan dianggap relevan. Untuk kalian-kalian atau mereka-mereka yang meresahkan keresahan yang hampir serupa maka kita adalah kawan untuk melawan.