ruminews.id – Permasalahan Palestina sebagai sebuah permasalahan internasional berawal dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada akhir Perang Dunia Pertama. Peristiwa-peristiwa ini membuat Liga Bangsa-Bangsa mengeluarkan keputusan untuk menaruh Palestina di bawah administrasi Pemerintah Inggris Raya sebagai pemegang mandat dari sistem mandat yang di adopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa, Namun, kenyataannya, perkembangan sejarah sebagai hasil dari mandat tersebut tidak menunjukkan bahwa Palestina dapat muncul sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Hasil. keputusan mandat tidaklah sesuai dengan keinginan rakyat Palestina.
Pada tahun 1917, akibat kampanye persuasif Gerakan Zionis, Inggris mengumumkan sebuah deklarasi yang dikeluarkan oleh British Foreign Secretary, Sir Arthur James Balfour. Maka dari itu deklarasi tersebut dinamakan dengan deklarasi Balfour. Deklarasi Balfour memegang peranan teramat penting dalam sejarah awal permasalahan Palestina. Deklarasi ini, yang menentukan sejarah awal dalam Perkembangan permasalahan di Palestina, kemudian disatukan dengan mandat Liga Bangsa-Bangsa.
Penerapan deklarasi ini mendapatkan pertentangan dari Arab dan menimbulkan revolusi baik di Palestina maupun di kawasan Timur Tengah. Deklarasi ini juga menimbulkan berbagai macam kesulitan yang tak habis dalam tahap-tahap terakhir diterapkannya mandat, dan membuat Inggris, Yahudi, dan Arab saling berhadap-hadapan saatu sama lain. Deklarasi ini pada akhirnya akan membuat Palestina di partisi dan menjadi akar masalah dari segala bentuk konflik yang terjadi di kawasan Palestina.
Hal ini terjadi karena hampir lima tahun sebelum menerima mandat dari Liga Bangsa-Bangsa, pemerintahan Inggris telah membuat suatu kesepakatan dengan Gerakan Zionis mengenai pendirian sebuah wilayah Yahudi di Palestina, karena pemimpin gerakan Zionis telah mengeluarkan suatu penyataan bahwa terdapat hubungan sejarah antara Bangsa Yahudi dengan Palestina dengan menyebutkan bahwa leluhur Bangsa Yahudi telah hidup di Palestina dua ribu tahun sebelum Bangsa Yahudi terbiasa hidup di negeri Diaspora.
Selama periode berlakunya mandat, Gerakan Zionis berkerja untuk mengamankan berdirinya sebuah wilayah Yahudi di Palestina. Warga asli Palestina, yang secara turun-temurun telah menempati wilayah tersebut selama ratusan tahun menganggap bahwa gerakan yang dilakukan oleh Gerakan Zionis telah melanggar hak-hak mereka. Mereka juga berpandangan bahwa hal tersebut adalah bentuk penipuan dan pengingkaran atas kesepakatan akan adanya jaminan bahwa Palestina akan dijadikan negara yang merdeka.
Tragedi yang telah dan terus terjadi di Palestina dapat dilacak dari penerapan ideologi Zionis oleh pemimpin-pemimpinnya. Pada saat ini, terdapat banyak cendikiawan, politisi, dan sejarawan yang menentang Zionisme.Beberapa pemikir dan penulis Nasrani dan Yahudi mengutuk ideologi tersebut berikut kebijakannya yang diterapkan pemerintah Israel. Diantaranya adalah para akademisi di universitas-universitas Israel, seperti mendiang Israel Shahak dan Benjamin Beit Hallahmi yang mengkritik kekerasan Israel terhadap Palestina dan menyatakan bahwa perdamaian hanya bisa dicapai jika Israel menyingkirkan ideologi Zionisnya.
Illan Pappe menulis bahwa mengontekstualisasikan tindakan Palestina telah menjadi “bukti anti-Semitisme” dan “pembenaran terorisme”. Namun, ia menolak mitos bahwa “Zionisme bukanlah kolonialisme” atau bahwa perlawanan Palestina “lebih bersifat teroristis daripada anti-kolonial”. Ia berpendapat bahwa selama periode Ottoman, seperti masyarakat Arab lainnya, Palestina mengembangkan gerakan nasional, menuntut lebih banyak otonomi Namun, hubungan antara “Zionisme, milenarianisme Protestan, dan imperialisme Inggris” menghancurkan Palestina dan rakyatnya. Hal ini karena Zionisme menginginkan Palestina sebanyak mungkin dengan sesedikit mungkin penduduk Palestina.
Ilan Pappe berpendapat bahwa para pemimpin agama Yahudi awalnya menolak Zionisme sebagai “bentuk sekularisasi dan modernisasi” . Yahudi lainnya memandang Zionisme sebagai provokatif, karena mempertanyakan loyalitas orang Yahudi Eropa terhadap negara asal mereka masing-masing.Selain itu, ia menyoroti inkonsistensi kaum Zionis yang tidak percaya kepada Tuhan tetapi menggunakan Alkitab sebagai pembenaran untuk menjajah Palestina. Namun, merampas Alkitab untuk tujuan politik dapat berujung pada fanatisme, mengingat adanya referensi genosida seperti yang terjadi pada orang Amalek, sebuah kiasan yang digunakan oleh Perdana Menteri Netanyahu dalam kasus Gaza.
Konferensi Internasional Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa – Deklarasi New York tentang Penyelesaian Damai Masalah Palestina dan Implementasi Solusi Dua Negara (29 Juli 2025).
Deklarasi ini dihadiri oleh para Pemimpin-pemimpin bangsa. Be Konferensi ini terdiri dari berbagai negara: Republik Prancis dan Kerajaan Arab Saudi, dan Ketua Bersama Kelompok Kerja: Republik Federasi Brasil, Kanada, Republik Arab Mesir, Republik Indonesia, Irlandia, Republik Italia, Jepang, Kerajaan Hashemite Yordania, Amerika Serikat Meksiko, Kerajaan Norwegia, Negara Qatar, Republik Senegal, Kerajaan Spanyol, Republik Türkiye, Kerajaan Inggris Raya dan Irlandia Utara, Uni Eropa dan Liga Negara-negara Arab.
Kami, para Pemimpin dan Perwakilan, berkumpul di Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, pada saat yang secara historis penting bagi perdamaian, keamanan, dan stabilitas di Timur Tengah. Kami sepakat untuk mengambil tindakan kolektif guna mengakhiri perang di Gaza, mencapai penyelesaian konflik Israel-Palestina yang adil, damai, dan langgeng berdasarkan implementasi efektif solusi dua negara, dan membangun masa depan yang lebih baik bagi warga Palestina, Israel, dan semua orang di kawasan.
Namun ada beberapa tantangan pada Konferensi Internasional Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa – Deklarasi New York tentang Penyelesaian Damai Masalah Palestina dan Implementasi Solusi Dua Negara dapat meliputi beberapa aspek:
*Dinamika Geopolitik: Efektivitas kerja sama internasional seringkali terkendala oleh dinamika geopolitik yang kompleks, sehingga dapat mempengaruhi semangat multilateralisme dan kerja sama antarnegara.
*Keterlibatan Pihak yang Bertikai: Konflik Israel-Palestina memiliki akar sejarah dan dimensi politik yang kuat, sehingga memerlukan keterlibatan aktif dari kedua pihak untuk mencapai penyelesaian damai.
Ini bukan lagi persoalan agama,ras, dan budaya tapi ini persoalan kemanusian yang terus-menerus terjadi di negara palestina.Tidak perlu jadi islam untuk membela palistina, cukup menjadi manusia. Free Palestine from river to the sea.