ruminews.id – SAYA sudah mengalami banyak kekalahan dalam kontestasi politik praktis sejak terjun ke dunia politik pada Pemilu 2024 lalu.
Dalam setiap pertempuran politik itu, saya selalu berdiri di sisi yang sama sisi perubahan, sisi yang melawan petahana dan menantang kenyamanan status quo.
Di Pilpres 2024, saya menjadi bagian dari perjuangan pasangan Anies Baswedan Muhaimin Iskandar (AMIN), sebagai Juru Bicara Tim Kampanye Daerah (TKD) AMIN Sulawesi Selatan.
Kami berjuang membawa gagasan perubahan bangsa, dengan segala keterbatasan dan tekanan yang ada. Hasilnya, pasangan kami dinyatakan kalah oleh KPU.
Di Pileg, saya juga maju sebagai Calon Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan dari Dapil XI (Luwu Raya).
Meski tak begitu maksimal, saya sempat turun ke lapangan, menyapa warga, berdiskusi tentang masa depan daerah, dan memperjuangkan politik yang lebih bersih serta berbasis gagasan.
Hasilnya? Sudah jelas. Saya tidak terpilih sebagai pemenang. Petahana akhirnya masih duduk kembali.
Belum cukup sampai di situ. Dalam Pilkada Serentak 2024, saya kembali turun gelanggang. Di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulsel, saya dipercaya menjadi Juru Bicara pasangan Danny Pomanto – Azhar Arsyad (DIA).
Kami membawa visi baru mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai Global Food Hub. Namun lagi-lagi, hasilnya belum berpihak. Gubernur petahana (Andi Sudirman Sulaiman) masih menang, meskipun kami harus berjuang hingga titik akhir di Mahkamah Konstitusi (MK).
Di Pemilihan Bupati Luwu Timur, kampung halaman saya sendiri, saya ikut membantu pasangan Isrullah Achmad – Usman Sadik.
Kami berhadapan dengan petahana (Budiman) dan rival bebuyutannya (Irwan Bachri Syam) yang memiliki infrastruktur politik dan kekuasaan yang lebih mapan. Hasilnya, kami juga kalah. Meski di kasus ini petahana juga ikut tumbang.

Terakhir, bahkan di ranah akademik, dalam penjaringan calon Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas) 3 November 2025, calon yang saya dukung Prof. dr. Budu, Ph.D juga belum berhasil mengalahkan perolehan suara petahana.
Meski masih ada tahap selanjutnya di Majelis Wali Amanat (MWA), tapi sepertinya sulit menggeser posisi Prof Jamaluddin Jompa yang meraup lebih dari 80 persen suara Senat Akademik (SA) Unhas.
Nah, tersisa satu kontestasi beraroma politik praktis yang belum saya lewati, yakni Pemilihan Ketua RT serentak yang segera akan dilaksanakan di Kota Makassar.
Di level inipun, saya mungkin bisa saja kembali kalah. Tapi karena kurang tertarik, jadi kita skip saja.
Melawan Petahana
Kalau saya coba tarik benang merah dari semua kekalahan itu, terdapat satu pola terlihat jelas, bahwa semuanya terjadi karena saya selalu melawan petahana.
Saya selalu memilih posisi berseberangan dengan kekuasaan yang mapan, bukan karena ingin kalah, tapi karena yakin bahwa perubahan hanya bisa lahir dari keberanian menantang kenyamanan lama.
Saya masih belum suka mencari posisi aman. Saya selalu memilih berada di sisi yang memperjuangkan sesuatu yang lebih besar dari diri saya sendiri.
Dan itulah harga dari idealisme politik yang harus menempuh jalan yang berat, panjang, dan penuh luka. Tapi juga jalan yang paling jujur dan bisa dibanggakan kelak.

Politik sebagai Proses
Banyak orang melihat politik sebagai soal menang dan kalah. Tapi bagi saya, politik adalah lebih sebagai proses untuk menjadi.
Kekalahan memberi saya banyak pelajaran tentang strategi, tentang komunikasi, tentang membaca arah angin politik, tapi lebih dari itu. Kekalahan juga menjadi kesempatan berharga untuk memahami manusia dan makna perjuangan.
Saya belajar bahwa dukungan publik bukan hanya dibangun lewat kampanye, tapi lewat ketulusan yang konsisten. Saya belajar bahwa tidak semua orang siap untuk perubahan, tapi perubahan tetap harus diperjuangkan.
Dan saya belajar bahwa kadang, kalah hari ini adalah bagian dari cara Tuhan mempersiapkan kemenangan yang lebih besar esok.
Menghabiskan Jatah Kalah
Saya pernah membaca kalimat ini:
“Setiap orang punya jatah kalah. Habiskanlah jatah kalahmu di awal, supaya sisanya tinggal kemenangan.”
Saya menyukainya. Mungkin memang saya sedang menghabiskan jatah kalah saya.
Kekalahan demi kekalahan bukan pertanda akhir, tapi pembersihan. Mungkin Tuhan sedang menguji seberapa teguh saya bertahan pada jalan yang saya yakini benar.
Mungkin semua ini adalah cara alam semesta menyiapkan ruang agar kemenangan nanti tidak membuat saya lupa diri.
Menang dengan Terhormat
Saya tidak tahu kapan giliran kemenangan itu tiba. Tapi saya tahu satu hal.
Ketika saatnya datang, saya ingin menang dengan cara yang benar dan terhormat bukan karena manipulasi, bukan karena kekuasaan uang, tapi karena gagasan, kerja, dan kepercayaan publik.
Karena pada akhirnya, politik bukan soal siapa yang menang lebih dulu, tapi siapa yang tetap tegak sampai di akhir pengabdian.
“Saya tidak pernah benar-benar kalah. Saya hanya sedang belajar lebih dalam tentang bagaimana caranya menang dengan benar.”
Kira-kira begitu.