ruminews.id, Makassar — Di ruang pertemuan Hotel LaMacca, sore itu udara terasa teduh dan penuh makna. Cahaya lampu yang lembut berpadu dengan suasana tertib, tenteram, dan penuh keakraban, ketika puluhan peserta Intermediate Training (LK2) Tingkat Nasional HMI Cabang Makassar Timur menyimak dengan khusyuk kehadiran sosok yang dikenal luas di kalangan aktivis Islam progresif Rahmatullah Usman, kader HMI dan aktivis nasional yang dikenal pula sebagai NDPers.
Dengan tenang, ia membuka materinya yang bertajuk “Teologi Pembebasan: Islam dan Umat Tertindas.” Suaranya tidak meninggi, tapi bergetar dengan kekuatan moral dan spiritual yang dalam. Setiap kalimat mengandung api perjuangan dan kelembutan iman yang menyatu.
“Islam,” ucapnya perlahan, “tidak lahir di ruang hampa. Ia tumbuh di tengah penindasan, dan sejak awal membawa pesan yang jelas membebaskan manusia dari segala bentuk kezaliman, baik ekonomi, politik, maupun batin.”
Ruangan seketika hening. Para peserta seperti tersihir oleh kesungguhan kata-kata itu. Tak ada suara selain napas yang tertahan dan bunyi pena yang mencatat. Dalam forum itu, agama tak lagi dipandang sebagai sekadar keyakinan pribadi, tetapi sebagai gerak sosial, sebagai kekuatan moral yang menolak tunduk pada struktur penindasan.
Rahmatullah berbicara tentang teologi pembebasan sebagai bentuk perlawanan yang berakar pada nilai-nilai Islam, nilai keadilan (‘adl), kesetaraan (musawah), dan kemanusiaan (insaniyah). Ia menyinggung bagaimana umat hari ini sering kali dijauhkan dari kesadaran kritis oleh sistem yang menindas dengan lembut: kapitalisme, oligarki, dan kekuasaan yang memperalat agama.
“Ketika agama dijadikan alat legitimasi kekuasaan,” katanya menatap peserta satu per satu, “maka tugas kita sebagai kader HMI adalah mengembalikannya kepada ruh pembebasan. Islam bukan untuk menguatkan singgasana, tapi untuk menegakkan keadilan.”
Peserta LK2 dari berbagai cabang tampak larut dalam perenungan. Di antara mereka, ada yang menunduk diam, ada pula yang mengangguk pelan seolah menyetujui setiap makna. Forum itu tak hanya menjadi ruang diskusi, tapi ruang pertemuan spiritual tempat iman dan intelektual bertaut dalam kesadaran kemanusiaan.
Dalam sesi tanya jawab, pertanyaan mengalir tajam tapi santun. Rahmatullah menjawab dengan gaya seorang sahabat, bukan pengajar; ia menanggapi bukan untuk menggurui, melainkan untuk menghidupkan percakapan. Keakraban terpancar dari setiap senyum dan tepuk bahu, menandakan bahwa HMI bukan sekadar organisasi, tapi keluarga ideologis yang tumbuh bersama nilai-nilai pembebasan.
“Kita harus belajar dari sejarah Nabi,” tuturnya menutup sesi. “Bahwa Islam hadir bukan di istana, tapi di jalanan bersama buruh, bersama fakir miskin, bersama mereka yang tertindas. Karena dari sanalah kebenaran sejati memantulkan cahaya.”
Tepuk tangan panjang pun menggema, tidak riuh, tapi sarat rasa hormat. Para peserta berdiri, menyalami pemateri dengan senyum penuh kagum. Malam di Hotel LaMacca menjadi saksi lahirnya kesadaran baru: bahwa menjadi kader HMI berarti menjadi pembela kemanusiaan bukan dengan kemarahan, tapi dengan ilmu, iman, dan cinta terhadap sesama.
Di sudut ruangan, kopi masih mengepul, tawa kecil menyelingi obrolan ringan. Tapi di balik semua itu, setiap kepala muda tahu, sesuatu telah tumbuh di dalam dirinya: kesadaran bahwa Islam sejati adalah pembebasan dan manusia beriman adalah manusia yang melawan ketidakadilan.