Menafsir Manusia dan Kebudayaan: Andi Rahmat Munawar Gugat Kesadaran Sejarah di Forum LK2 Nasional HMI Makassar Timur

ruminews.id, Makassar — Malam di Hotel LaMacca berjalan dengan kelembutan intelektual yang jarang dijumpai. Lampu-lampu ruangan berpendar hangat, menciptakan suasana tertib, tenteram, dan penuh keakraban di antara para peserta Intermediate Training (LK2) Tingkat Nasional HMI Cabang Makassar Timur. Di hadapan mereka, tampil sosok yang tenang namun berwibawa, Andi Rahmat Munawar, S.Sos., M.Si., membawakan materi bertajuk “Manusia dalam Tafsir Kebudayaan Lokal.”

Dari awal pembicaraannya, Andi Rahmat tak sekadar memaparkan teori. Ia menuturkan sejarah seperti kisah hidup yang mesti dihadapi dengan kejujuran. Dengan suara yang teduh, ia mengingatkan:

“Kita harus jujur pada sejarah. Indonesia bukanlah kelanjutan dari Majapahit, tapi hasil penyatuan kultur atau lebih tepatnya, Hindia Belanda jilid dua. Artinya, wilayah-wilayah bekas jajahan Belanda itulah yang kemudian disatukan menjadi Indonesia hari ini.”

Kalimat itu mengalir pelan, tapi mengguncang kesadaran. Para peserta LK2 terdiam sejenak, menatap pemateri dengan pandangan penuh renung. Di ruang itu, sejarah terasa hadir  bukan sebagai pelajaran beku, tapi sebagai cermin yang memantulkan wajah bangsa dengan segala luka dan harapannya.

Andi Rahmat melanjutkan bahwa manusia dalam tafsir kebudayaan lokal bukan sekadar makhluk sosial yang hidup dalam ruang, melainkan bagian dari jaringan nilai, simbol, dan bahasa yang membentuk identitasnya. Ia menjelaskan bahwa memahami manusia Indonesia berarti memahami pluralitas budaya yang hidup, dari sabang hingga merauke, dari nilai lokal hingga semangat kolektif yang menyatukan.

“Kebudayaan lokal,” katanya, “adalah cara manusia menegosiasikan dirinya dengan sejarah dan ruang hidupnya. Dari situ lahir rasa, lahir bahasa, lahir nilai-nilai yang membuat kita mengerti siapa diri kita.”

Suasana forum begitu damai. Peserta dari berbagai cabang HMI tampak larut dalam suasana dialog yang akrab. Ada yang sibuk menulis catatan, ada pula yang mengangguk pelan setiap kali pemateri mengaitkan tafsir kebudayaan dengan identitas manusia Indonesia yang kompleks dan majemuk.

Dalam suasana yang tertib dan saling menghargai, diskusi berkembang menjadi refleksi. Tak ada perdebatan yang panas, hanya pertukaran gagasan yang jernih. Seolah-olah malam di Hotel LaMacca menjelma menjadi ruang kontemplatif tempat akal dan nurani bertemu.

Ketika sesi tanya jawab dibuka, beberapa peserta menyampaikan pandangan tentang bagaimana budaya lokal kini bergulat dengan modernitas. Andi Rahmat menanggapinya dengan bijak, menegaskan bahwa modernitas tidak semestinya menghapus kearifan lokal, tetapi justru menghidupkannya kembali dalam konteks baru.

“Kita tidak sedang menolak masa kini,” ujarnya lembut, “kita hanya ingin memastikan bahwa akar kita tidak tercabut dari tanah yang menumbuhkan.”

Tepuk tangan panjang mengakhiri sesi. Suara tepukan itu terdengar bukan sekadar bentuk apresiasi, tapi seperti tanda sepakat bahwa kejujuran pada sejarah dan penghormatan pada kebudayaan adalah dua hal yang harus kembali menjadi fondasi kesadaran bangsa.

Di malam itu, di bawah cahaya hangat lampu Hotel LaMacca, HMI Makassar Timur tidak hanya berdiskusi tentang kebudayaan; mereka sedang memupuk kembali makna menjadi manusia Indonesia  manusia yang jujur pada sejarahnya, bangga pada budayanya, dan sadar pada tanggung jawabnya di masa depan.

Scroll to Top