Membongkar Relasi Produksi Spiritual: Asman Abdullah Kritik Agama sebagai Alat Legitimasi Kapitalisme di LK2 Nasional HMI Makassar Timur

ruminews.id, Makassar — Dalam ruang yang hening namun penuh getar kesadaran, Intermediate Training (LK2) Tingkat Nasional HMI Cabang Makassar Timur kembali menjadi panggung bagi pertemuan gagasan besar dan renungan mendalam. Malam itu, di bawah cahaya lampu yang lembut, para peserta duduk berjejer dengan raut serius namun bersahabat. Di depan mereka, Asman Abdullah tampil sebagai pemateri dengan tajuk yang menggugah: “Agama Sebagai Alat Legitimasi Kapitalisme: Kritik atas Relasi Produksi Spiritual”

Dengan nada suara yang tenang namun mengandung daya kritis yang tajam, Asman membuka paparannya tentang bagaimana agama, dalam sejarah dan praksis sosialnya, kerap menjadi alat legitimasi kekuasaan dan kapital. “Agama,” ujarnya, “tidak hanya hidup dalam ruang spiritual, tetapi juga dalam ruang sosial dan simbolik. Ia membangun solidaritas, memberi makna, namun juga kadang tanpa kita sadari menjadi instrumen yang meneguhkan dominasi.”

Para peserta menyimak dengan saksama, ketika Asman menelusuri perjalanan panjang bagaimana agama beroperasi sebagai sistem solidaritas sosial, namun di sisi lain dapat bertransformasi menjadi mekanisme kontrol sosial yang menjaga stabilitas tatanan yang timpang. Ia mengutip Karl Marx dengan lembut namun tajam: “Agama adalah candu bagi rakyat,” bukan untuk menolak spiritualitas, melainkan untuk mengingatkan betapa mudahnya makna suci tereduksi menjadi alat kekuasaan.

Dalam penjelasan yang mengalir seperti sungai pengetahuan, Asman memperluas wacana hingga pada ranah kapitalisme global. Ia menyebut pandangan Slavoj Žižek tentang bagaimana agama dan ideologi dapat beroperasi dalam ruang simbolik membangun habitus yang, tanpa disadari, memperkuat dominasi kelas dan melanggengkan relasi produksi yang tidak adil.

“Di era kapitalisme global,” ujar Asman, “agama tak lagi sekadar tempat bersandar bagi yang lelah. Ia juga menjadi bagian dari produksi makna sebuah industri simbolik yang mengabdi pada logika pasar, menjual ketenangan seperti menjual komoditas.”

Suasana forum tertib, tenteram, dan penuh keakraban. Para peserta dari berbagai daerah di Indonesia tampak larut dalam perbincangan serius namun hangat. Tak ada benturan ego, hanya pertukaran gagasan yang jernih dan penuh hormat. Tatapan yang tajam bertemu senyum yang ramah, seolah seluruh ruang bersepakat: bahwa kritik terhadap agama bukanlah penghujatan, melainkan usaha mengembalikan kesucian maknanya kepada nurani kemanusiaan.

Menjelang akhir sesi, Asman menutup dengan kalimat reflektif yang menggantung di udara:
“Agama tidak salah, manusia yang menafsirkannya demi kepentinganlah yang membuatnya terjebak dalam logika kapital. Maka tugas kita adalah membebaskan spiritualitas dari pasar, dan menjadikannya kekuatan moral untuk melawan ketimpangan.”

Tepuk tangan pelan namun panjang mengiringi akhir pertemuan itu. Di wajah-wajah peserta tampak campuran antara renungan dan kebanggaan bahwa sore itu mereka tak hanya belajar tentang teori, tapi juga tentang keberanian berpikir.

Malam di Makassar Timur pun menorehkan kisahnya sendiri: kisah tentang ruang intelektual yang damai, di mana agama, kapitalisme, dan kemanusiaan bersinggungan dalam percakapan yang jujur dan penuh cinta pada kebenaran.

Scroll to Top