Ketika Kapitalisme Menyentuh Kemanusiaan: Refleksi Hangat Muh Ifan Fadhillah di Forum LK2 HMI Makassar Timur

ruminews.id – Ruang itu tenang, namun berdenyut dengan semangat yang hidup. Di antara cahaya lampu yang jatuh lembut di meja-meja kayu, para peserta Intermediate Training (LK 2) Tingkat Nasional HMI Cabang Makassar Timur duduk berjejer, menyimak setiap kata yang mengalir dari pemateri Muh Ifan Fadhillah, S.E., M.Si. Malam itu, topik yang diangkat bukan perkara ringan. Ia berbicara tentang Kapitalisme dan Krisis Multidimensional: Relasi Kapitalisme dalam Berbagai Sektor, sebuah gagasan yang menyingkap wajah sistem ekonomi bukan hanya dari sisi pasar dan angka, tetapi dari denyut sosial, budaya, dan kemanusiaan yang lebih dalam.

“Kapitalisme bukan sekadar sistem ekonomi,” ujar Muh Ifan dengan suara tenang namun tajam. “Ia telah menjelma menjadi cara berpikir, bahkan cara kita memandang kehidupan sehari-hari.”

Forum terasa hidup. Peserta tak sekadar mendengar; mereka seolah menelusuri setiap makna yang tersembunyi di balik kalimat-kalimatnya. Di antara udara malam yang hangat, pikiran-pikiran muda itu bergolak menyelami konsep tentang kerja reproduksi sosial yang tak terlihat, kerja-kerja domestik yang diam tapi menopang dunia.

Muh Ifan memaparkan bagaimana ketimpangan pendapatan dan kemiskinan sering kali disederhanakan menjadi sekadar angka statistik, padahal di baliknya ada wajah-wajah manusia, ada cerita perjuangan, ada lapar yang tak hanya di perut tetapi juga di hati. Ia menyentuh sisi lain kapitalisme, kematian akibat kerja, krisis iklim, hingga pendidikan dan ketimpangan kesempatan sebagai kepingan dari satu mozaik besar: bagaimana sistem global ini membentuk dan kadang merampas kemanusiaan.

Suasana forum semakin syahdu ketika peserta mulai berdialog. Tak ada hiruk-pikuk, hanya tatapan serius yang sesekali melembut ketika pemateri tersenyum. Ada kehangatan intelektual yang romantis, sebuah rasa cinta terhadap ilmu dan kesadaran. Setiap pertanyaan lahir dari kegelisahan, setiap jawaban menjadi penuntun yang menenangkan.

Dalam ruangan itu, kapitalisme tidak lagi dibicarakan sebagai teori kaku, melainkan sebagai realitas yang menyentuh kehidupan sehari-hari. Dari dapur rumah tangga hingga ruang kelas, dari pabrik hingga meja diskusi malam itu, semua menjadi cermin refleksi.

Saat sesi berakhir, tepuk tangan menggema lembut. Para peserta masih enggan beranjak, seolah percakapan tadi belum selesai karena sesungguhnya, diskusi tentang kemanusiaan memang tak akan pernah benar-benar usai.

Malam di Makassar Timur itu menjadi saksi: bahwa belajar bisa begitu hangat, romantis, dan sarat makna ketika ilmu dan kesadaran berpadu dalam satu ruang, dalam satu semangat, dalam satu cita: membangun manusia yang peka terhadap realitas dan cinta pada keadilan.

Scroll to Top