Ruminews.id, Jakarta – Lembaga Opini Hukum Publik (LOHPU) menyoroti adanya tumpang tindih regulasi dan kebingungan hukum dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, khususnya terkait penggunaan dana APBN untuk pembayaran utang kepada China Development Bank (CDB).
Direktur LOHPU, Aco Hatta Kainang, S.H, dalam pernyataannya menilai bahwa sejumlah regulasi pemerintah yang mengatur proyek strategis tersebut saling bertentangan satu sama lain. Polemik ini mencuat setelah Kementerian Keuangan dikabarkan membuka ruang penggunaan APBN melalui BP Danamitra sebagai holding BUMN untuk membayar utang proyek kereta cepat.
Menurut Aco, langkah tersebut justru bertentangan dengan Keppres No. 59 Tahun 1972 yang secara tegas melarang penggunaan jaminan pemerintah terhadap pinjaman luar negeri yang dilakukan oleh badan usaha. Namun, dalam perkembangannya, Perpres No. 107 Tahun 2015 dan Perpres No. 93 Tahun 2021 justru memberikan ruang penggunaan APBN dan jaminan pemerintah terhadap proyek kereta cepat, yang secara substansi dianggap menyalahi prinsip hukum sebelumnya.
“Regulasi ini jelas saling bertentangan. Di satu sisi, pemerintah melarang jaminan APBN untuk proyek bisnis BUMN, namun di sisi lain peraturan baru justru membuka celah itu. Ini menciptakan inkonsistensi hukum dan potensi penyimpangan tata kelola,” tegas Aco Hatta Kainang.
LOHPU menilai, polemik regulasi ini bisa berdampak serius terhadap kredibilitas kebijakan fiskal dan kepercayaan publik terhadap tata kelola proyek strategis nasional. Pemerintah juga diminta tidak menjadikan APBN sebagai instrumen penyelamat atas kesalahan bisnis badan usaha, apalagi yang melibatkan pinjaman luar negeri berskala besar.
Selain itu, LOHPU menyoroti pentingnya transparansi dalam proses restrukturisasi utang kepada CDB. Menurut lembaga ini, perlu ada kejelasan tentang rasio keuangan (gearing ratio) serta tanggung jawab lembaga-lembaga terkait seperti BP Danamitra, Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia dalam memastikan kepatuhan terhadap peraturan keuangan negara.
“Ini bukan sekadar persoalan teknis pembayaran utang, tetapi menyangkut konsistensi hukum dan keadilan fiskal. Pemerintah harus berani menjelaskan dasar hukum yang digunakan, apakah masih berpegang pada Keppres 59/1972 atau regulasi baru yang bertentangan,” tambah Aco.
LOHPU menyerukan agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pembiayaan proyek kereta cepat dan memastikan tidak ada pelanggaran prinsip hukum publik maupun keuangan negara. Lembaga ini juga siap memberikan masukan hukum demi terciptanya tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan berlandaskan pada prinsip konstitusi.