ruminews.id – “Di era disrupsi digital, arus informasi bergerak dengan kecepatan yang luar biasa. Setiap detik, jutaan data berseliweran di ruang publik, membentuk opini dan persepsi masyarakat.”
Di era disrupsi digital, arus informasi bergerak dengan kecepatan yang luar biasa. Setiap detik, jutaan data berseliweran di ruang publik, membentuk opini dan persepsi masyarakat. Situasi ini membawa tantangan besar bagi lembaga pemerintah, termasuk Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yang kerap menjadi sorotan publik. Kebijakan fiskal, isu pajak, pengelolaan APBN, hingga regulasi investasi adalah topik yang tidak hanya teknis tetapi juga politis. Sering kali, informasi yang beredar tentang isu-isu tersebut bercampur antara fakta dan hoaks. Jika dibiarkan, misinformasi bisa merusak kepercayaan publik dan melemahkan legitimasi kebijakan.
Di tengah keterbatasan kanal resmi pemerintah yang cenderung formal, Kemenkeu perlu strategi komunikasi yang lebih humanis dan adaptif. Salah satu pendekatan inovatif yang mulai mendapat perhatian adalah employee advocacy. Strategi ini menempatkan pegawai sebagai corong komunikasi—bukan hanya aparat yang bekerja di balik meja, tetapi juga advokat yang aktif menyuarakan nilai, kebijakan, dan pencapaian institusi melalui kanal pribadi mereka, baik di media sosial maupun dalam interaksi sehari-hari.
Employee Advocacy: Lebih dari Sekadar Promosi
Employee advocacy secara sederhana dapat dipahami sebagai keterlibatan pegawai dalam menyampaikan pesan, visi, dan citra positif institusi kepada publik. Namun, lebih jauh dari itu, employee advocacy adalah soal membangun narasi autentik. Publik, khususnya generasi digital, cenderung lebih percaya pada suara personal dibanding akun institusional yang formal. Ketika seorang pegawai Kemenkeu berbagi cerita tentang bagaimana APBN hadir mendukung pembangunan sekolah di daerah terpencil, pesan itu terasa lebih hangat dan nyata dibanding sekadar unggahan di akun resmi kementerian.
Bagi Kemenkeu, pendekatan ini sangat relevan. Pertama, isu fiskal sering kali dipersepsikan kaku dan sulit dipahami. Kehadiran pegawai sebagai juru cerita mampu menyederhanakan pesan tanpa menghilangkan substansi. Kedua, jaringan pegawai yang tersebar dari pusat hingga daerah membuka peluang desentralisasi komunikasi. Alih-alih menunggu klarifikasi dari pusat, pesan dapat segera mengalir melalui pegawai di lapangan. Ketiga, dengan meningkatnya risiko hoaks tentang keuangan negara, keterlibatan pegawai sebagai “penyampai fakta” menjadi tameng yang efektif.
Strategi Komunikasi Kemenkeu dalam Mengembangkan Employee Advocacy
Agar employee advocacy berjalan optimal, Kemenkeu tidak cukup hanya mendorong pegawai untuk aktif di media sosial. Dibutuhkan strategi komunikasi yang terencana, sistematis, dan terintegrasi. Setidaknya ada empat pilar penting yang dapat dikembangkan.
1. Internal Engagement: Membangun Kesadaran dan Literasi
Langkah pertama adalah memastikan pegawai memahami visi, misi, serta isu strategis kementerian. Tidak mungkin seseorang menjadi advokat jika ia sendiri tidak memahami apa yang sedang diperjuangkan. Karena itu, internal engagement harus diperkuat. Edukasi pegawai bisa dilakukan melalui pelatihan komunikasi publik, workshop literasi digital, dan forum diskusi rutin mengenai isu fiskal.
Selain itu, penting juga menanamkan kebanggaan terhadap institusi. Ketika pegawai merasa menjadi bagian dari sesuatu yang bermakna, mereka akan dengan sukarela menyuarakan narasi positif. Employee advocacy sejatinya lahir dari sense of belonging yang kuat.
2. Platform dan Infrastruktur Komunikasi
Agar narasi yang dibangun konsisten, Kemenkeu perlu menyediakan toolkit komunikasi. Toolkit ini bisa berupa pedoman gaya bahasa, pesan kunci, infografis sederhana, atau content pack yang mudah dipahami dan dibagikan oleh pegawai. Dengan begitu, meski setiap pegawai memiliki gaya komunikasi personal, benang merah pesan tetap terjaga.
Selain toolkit, Kemenkeu dapat membentuk community of practice di bidang komunikasi. Komunitas ini menjadi ruang berbagi pengalaman, saling memberi masukan, dan memperkuat keterampilan komunikasi pegawai. Jika dikelola dengan baik, komunitas ini bisa berkembang menjadi jejaring advokat internal yang solid.
3. Budaya Organisasi yang Mendukung
Employee advocacy tidak bisa dipaksakan. Ia hanya bisa tumbuh jika budaya organisasi mendukung. Kemenkeu perlu menumbuhkan iklim apresiasi, di mana pegawai yang aktif berbagi narasi positif mendapat pengakuan, baik formal maupun informal. Penghargaan sederhana, misalnya penayangan konten pegawai di kanal resmi kementerian, dapat memotivasi partisipasi.
Lebih dari itu, advocacy perlu diintegrasikan dengan nilai-nilai inti Kemenkeu: integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan. Dengan begitu, setiap aktivitas komunikasi pegawai tidak sekadar menjadi rutinitas, tetapi juga refleksi dari jati diri organisasi.
4. Pengukuran dan Evaluasi
Strategi komunikasi tidak akan efektif tanpa evaluasi. Kemenkeu perlu merancang indikator untuk menilai efektivitas employee advocacy, misalnya jumlah pegawai yang aktif menjadi advokat, jangkauan pesan di media sosial, tingkat engagement, hingga perubahan persepsi publik. Evaluasi ini penting untuk memastikan strategi tidak berjalan di ruang hampa, melainkan memberikan dampak nyata terhadap citra dan kredibilitas Kemenkeu.
Dampak Positif Employee Advocacy
Jika dijalankan dengan konsisten, employee advocacy akan membawa dampak signifikan. Pertama, memperluas jangkauan pesan. Setiap pegawai memiliki lingkar sosial unik, mulai dari keluarga, komunitas, hingga jejaring profesional. Jaringan inilah yang menjadi saluran organik untuk menyebarkan pesan.
Kedua, meningkatkan kredibilitas. Suara yang datang dari individu, apalagi yang dianggap dekat atau dipercaya, cenderung lebih meyakinkan dibanding komunikasi institusional yang sering dianggap terlalu formal.
Ketiga, membangun citra humanis. Publik sering melihat lembaga pemerintah sebagai entitas birokratis yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Narasi personal pegawai mampu menjembatani jarak itu, menunjukkan bahwa kebijakan fiskal bukanlah angka di atas kertas, melainkan nyata hadir dalam kehidupan masyarakat.
Keempat, mengurangi risiko hoaks. Ketika misinformasi muncul, narasi yang dibangun pegawai dapat menjadi bantahan organik yang lebih cepat dan persuasif daripada klarifikasi formal.
Tantangan yang Perlu Diantisipasi
Tentu saja, mengembangkan employee advocacy bukan tanpa tantangan. Risiko penyalahgunaan media sosial tetap ada, termasuk kemungkinan munculnya informasi yang tidak akurat dari internal. Tidak semua pegawai juga siap atau nyaman tampil di publik. Di sinilah pentingnya keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan kepatuhan pada kode etik.
Selain itu, ada pula risiko beban ganda. Pegawai mungkin merasa bahwa advocacy adalah pekerjaan tambahan di luar tugas pokok. Karena itu, Kemenkeu perlu memastikan bahwa peran advokat tidak membebani, melainkan justru memperkuat rasa kepemilikan terhadap organisasi.
Penutup: Dari Aparatur ke Advokat
Di era keterbukaan informasi, employee advocacy bukan lagi sekadar tren komunikasi, tetapi sebuah kebutuhan strategis. Bagi Kemenkeu, strategi ini dapat menjadi kunci untuk mengubah tantangan informasi menjadi peluang membangun kepercayaan publik.
Ketika pegawai tidak hanya bekerja sebagai birokrat, tetapi juga tampil sebagai storyteller kebijakan, citra Kemenkeu akan semakin kokoh. Narasi fiskal yang selama ini dianggap rumit bisa hadir lebih sederhana, humanis, dan meyakinkan. Pada akhirnya, employee advocacy adalah tentang transformasi: dari aparatur yang melaksanakan kebijakan menjadi advokat yang menyuarakan semangat #UangKita dan #APBNKita untuk kesejahteraan bangsa.
Sumber: https://opini.kemenkeu.go.id