ruminews.id – Pendidikan semestinya adalah pelita, suluh yang menuntun manusia keluar dari kegelapan menuju pengetahuan. Namun kini, ia kerap tergelincir menjadi komoditas: diperjualbelikan di pasar yang bernama sekolah, dilelang di aula universitas.
Gedung-gedung tinggi berdiri megah, bukan sebagai rumah ilmu, melainkan sebagai etalase harga. Buku tak lagi jendela dunia, melainkan tiket masuk yang hanya bisa dibeli mereka yang beruntung beruang. Gelar akademik menjelma barang dagangan, disajikan dalam katalog program dengan angka rupiah sebagai ukurannya.
Kerja sama UNHAS dengan PT SUS menunjukkan kampus tunduk pada modal, ilmu dijadikan aksesoris, bisnis dijadikan prioritas, dan lupa bahwa kampus seharusnya milik mahasiswa serta MASYARAKAT.
Maka, pendidikan kehilangan ruhnya. Ia menjauh dari nurani, terjebak dalam logika laba. Mahasiswa bukan lagi manusia yg harus di tuntun, melainkan mahasiswa itulah yg akan menentukan arahnya geraknya sendiri.
Pendidikan sejatinya adalah taman, tempat benih-benih akal dan budi ditanam, disiram, lalu tumbuh menjadi pohon kehidupan. Namun hari ini, taman itu kerap dipagari tembok tinggi, dijadikan kebun eksklusif yang hanya bisa dimasuki mereka yang sanggup membayar tiket mahal.
Ilmu yang mestinya mengalir bebas, kini ditakar dalam kursi kuliah dan modul berbayar. Gelar yang seharusnya menjadi penanda kesungguhan, justru dijadikan barang dagangan di rak-rak institusi. Sekolah dan universitas berubah rupa: bukan lagi rumah ilmu, melainkan pasar dengan papan harga di setiap pintu gerbang.
Di sana, murid hanyalah pelanggan, guru sekadar penyaji materi, dan ruang kelas menjadi etalase dagang. Yang miskin terhalang masuk, yang kaya membeli kesempatan, dan pendidikan pun kehilangan wajahnya yang manusiawi.
Beginilah tragedi kita: ketika cahaya pengetahuan diperdagangkan, maka yang gelap bukan hanya pikiran, melainkan juga nurani bangsa.