OPINI

Tunjangan Rumah DPR Rp50 Juta: Potret Ketidakadilan, Saat Buruh Pelabuhan Masih Jadi Kelas Kontrakan

ruminews.id, Di tengah gegap gempita pembangunan, kita kembali disuguhi fakta mencengangkan: setiap anggota DPR RI menerima tunjangan rumah Rp50 juta per bulan. Angka fantastis ini, bila ditarik ke dalam realitas buruh pelabuhan, sungguh terasa sebagai ironi yang menohok.

Mari kita hitung sederhana. Cicilan rumah sederhana bagi buruh pelabuhan rata-rata hanya Rp2 juta per bulan. Artinya, satu tunjangan rumah DPR dalam sebulan bisa membayar 25 kali cicilan rumah buruh pelabuhan. Dengan 575 anggota DPR, negara menggelontorkan Rp28,7 miliar setiap bulan untuk sekadar fasilitas perumahan pejabat. Padahal dana sebesar itu, jika dialihkan, bisa membiayai cicilan rumah bagi 14.350 keluarga buruh pelabuhan setiap bulannya, atau 172.200 keluarga dalam setahun.

Buruh: Garda Depan yang Terpinggirkan

Buruh pelabuhan adalah urat nadi logistik nasional. Mereka bekerja di bawah terik matahari, di bawah hujan, mengangkat, memanggul, dan memindahkan barang agar roda ekonomi tidak berhenti berputar. Tanpa mereka, pelabuhan lumpuh, perdagangan tersendat, dan rantai pasok nasional bisa terganggu.

Namun, fakta yang terjadi sungguh menyedihkan. Banyak buruh pelabuhan masih hidup di rumah kontrakan sempit, bahkan di kawasan padat dan tidak sehat. Kepemilikan rumah bagi buruh masih sebatas mimpi.

Di sisi lain, para wakil rakyat hidup dalam kenyamanan berlebih. Tunjangan Rp50 juta hanya untuk rumah, belum termasuk gaji pokok, tunjangan transportasi, dan fasilitas lainnya. Inilah ketimpangan yang merobek rasa keadilan sosial.

Suara Keras dari Pelabuhan

Ketua Umum Pimpinan Pusat SP TKBM Indonesia, Subhan Hadil, menyuarakan keresahan ini dengan lantang:

“Satu tunjangan rumah DPR senilai Rp50 juta bisa membiayai cicilan rumah 25 keluarga buruh pelabuhan dalam sebulan. Ini fakta yang nyata. Apalagi jika dikalikan jumlah anggota DPR, maka ratusan ribu keluarga buruh bisa terbantu. Pertanyaannya: mengapa negara lebih memprioritaskan kenyamanan pejabat dibanding kesejahteraan buruh yang menjadi penopang logistik nasional?”

Buruh pelabuhan, kata Subhan, tidak menuntut rumah mewah. Mereka hanya ingin rumah sederhana yang bisa dimiliki. Sebuah tempat layak untuk keluarga, agar anak-anak buruh bisa tumbuh dengan kehidupan yang lebih bermartabat.

Program Perumahan Pekerja: Dari Buruh untuk Buruh

Menariknya, SP TKBM Indonesia tidak sekadar menyuarakan protes. Mereka juga telah menggulirkan Program Perumahan Pekerja, yang dijalankan melalui badan otonomnya, KOPPELINDO MANDIRI (Koperasi Pekerja Pelabuhan Indonesia Mandiri).

Program ini dirancang untuk menyediakan rumah layak dan terjangkau bagi anggota TKBM Indonesia, sekaligus untuk pekerja di sektor pelabuhan dan industri lain yang memiliki nasib serupa. Skema koperasi dipilih agar buruh punya akses lebih adil dalam mendapatkan rumah, tanpa terjerat bunga mencekik.

Lebih jauh, SP TKBM Indonesia mendorong negara untuk bersinergi dengan konsep KPR Peradaban, sebuah skema pembiayaan rumah yang berbasis keberpihakan sosial. Skema ini dianggap mampu menjawab kebutuhan perumahan pekerja berpenghasilan rendah, dengan bunga ringan dan tenor panjang yang manusiawi.

Negara Harus Memilih: Pejabat atau Pekerja?

Perbandingan ini jelas membuka mata. Tunjangan rumah DPR adalah simbol betapa negara lebih mudah menggelontorkan dana untuk kenyamanan pejabat, dibanding menghadirkan kebijakan konkret bagi kesejahteraan buruh.

Jika negara serius ingin membangun keadilan sosial, maka prioritas harus diubah: bukan lagi menambah fasilitas pejabat, melainkan memastikan buruh punya rumah yang layak.

Negara harus memilih: berpihak pada pejabat yang sudah hidup dalam kemewahan, atau berdiri bersama buruh yang menggerakkan roda ekonomi bangsa?

Sejarah akan mencatat, siapa yang benar-benar memperjuangkan rakyat pekerja, dan siapa yang hanya menikmati kursi empuk kekuasaan.

Share Konten

Opini Lainnya

ab29cefe-49ca-48f8-a59d-adf2c00da05b
Belajar Pelan-Pelan di Kota yang Bergerak Cepat
331cac43-f13d-4690-a876-4f51ba879d65
Negara Sibuk Mengurus Sawit, Air Mengurus Rakyat: Air yang Jujur, Negara yang Mengelak
b2933403-15a0-4d99-acc9-00e5a7c644c8
Ketika Pelajaran Sekolah Menyelamatkan Nyawa.
00e38094-709c-4290-9114-a1114e54b60a
Kebijakan Pertanian : Peluang Generasi Muda dan Masa Depan Indonesia
962faf62-2d6b-4a1b-b248-cdfd67cfa972
Nexus: Ketika Jaringan Informasi Menjadi Arena Politik Peradaban
2e12a1c3-353e-453b-bc48-ed0418db2ed9
Raja Ampat dan Geopolitik Sumber Daya Alam: Di Antara Surga Ekologi dan Tarikan Ekonomi Global
6ce775bb-a2c5-4ce4-af47-629de78123fe
LKIII BADKO PAPUA BARAT - PAPUA BARAT DAYA: KEDAULATAN SDA MINERAL KRITIS
9914b5ac-eb0b-45f7-8a0c-c89cff75166f
Presiden tolong buatkan kami jembatan agar kami nyaman kesekolah. Seorang anak pelosok meminta lansung dibuatkan jembatan terhadap presiden.
abff4d92-1a71-496d-9412-afd1404a8a41
LK III BADKO HMI PAPUA BARAT - PAPUA BARAT DAYA: KAPITALISME DIGITAL & SEMESTINYA KADER HMI BERSIKAP
bfaac97f-6e5c-4768-8b85-928a191d4b8b
28 November: Peringatan yang Kita Diamkan, Dampak yang Kita Rasakan
Scroll to Top