ruminews.id, Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bone terkait penyesuaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) menimbulkan keresahan luas di tengah masyarakat. Dasar penyesuaian yang merujuk pada Zona Nilai Tanah (ZNT) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) memang disebutkan karena nilai tanah terakhir diperbarui 14 tahun yang lalu. Namun kenyataannya, kenaikan hingga 300% di lapangan sangat membebani rakyat, terutama di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang belum stabil. Kekecewaan semakin besar ketika pemerintah daerah terkesan absen berdialog dengan masyarakat, terutama ketika Bupati Bone yang merupakan putra asli daerah tidak hadir menemui massa aksi.
Sikap DPRD Kabupaten Bone yang terlihat menyetujui kebijakan kenaikan ini juga menambah luka kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat. Aspirasi rakyat seperti tidak mendapat ruang yang adil untuk didengar. Hal ini memicu aksi unjuk rasa yang berlangsung secara besar-besaran di pusat kota, dan berujung pada bentrokan antara massa aksi dan aparat keamanan. Beberapa demonstran bahkan diamankan dan dibawa ke kantor polisi. Kondisi ini menandakan adanya kegagapan pemerintah daerah dalam merespons keresahan masyarakat.
Setelah situasi memanas, barulah muncul pernyataan resmi bahwa kenaikan PBB-P2 akan ditunda dan dikaji ulang. Namun, penundaan ini dianggap sebagai keputusan yang sangat terlambat dan tidak menjawab substansi penolakan rakyat. Sebab penundaan bukan berarti pencabutan. Masyarakat bertanya, mengapa pemerintah harus menunggu adanya pertumpahan darah dan bentrokan fisik terlebih dahulu sebelum menyatakan penundaan? Ini memperlihatkan bahwa suara rakyat baru didengar setelah situasi chaos terjadi. Lebih dari itu, penundaan menyimpan potensi untuk tetap dilanjutkan di waktu lain sehingga rasa waswas publik tetap ada.
Secara budaya, peristiwa ini mencederai jiwa pangadereng dan falsafah bugis, sipakatau, sipakainge’, sipakalebbi yang menjadi napas kehidupan masyarakat Bone. Nilai budaya Bone tidak hanya mengatur adab, tetapi juga menuntut pemimpin untuk menjunjung tinggi etika kepemimpinan yang berpihak kepada rakyat. Dalam konteks itu, keputusan sepihak yang memicu bentrokan massa jelas bertentangan dengan filosofi kepemimpinan Bugis yang mengedepankan keadilan dan rasa malu ketika rakyat menderita. Bone dikenal melahirkan banyak tokoh besar, namun hari ini masyarakat bertanya ke mana suara mereka ketika rakyat kecil menjerit menghadapi beban pajak.
Saya, Adrian Hidayat, mahasiswa Sistem Informasi Universitas Hasanuddin dan juga putra asli Bone, merasa prihatin dan terpanggil menyuarakan kegelisahan ini. Ketimpangan sosial dan ekonomi di Bone sudah sangat nyata, dan kebijakan kenaikan PBB-P2 hanya akan memperdalam jurang tersebut. Jika alasan penyesuaian pajak adalah modernisasi dan pembaruan data perlu adanya kepekaan sosial, bukan dengan cara yang mengabaikan rakyat hingga timbul bentrokan.
Untuk itu, masyarakat tidak hanya menuntut penundaan, tetapi pencabutan penuh kebijakan kenaikan tersebut. Pemerintah daerah perlu membuka ruang dialog secara terbuka, melibatkan tokoh adat, tokoh masyarakat, mahasiswa sebagai penjaga moral masyarakat Bone. Hanya dengan cara itu, kehormatan budaya Bone dan rasa keadilan sosial dapat dikembalikan. Penundaan tanpa keberpihakan adalah siasat sementara; sedangkan keadilan dan keberpihakan kepada rakyat harus menjadi sikap permanen dalam setiap kebijakan publik.