ruminews.id – Pergantian kepemimpinan nasional selalu membawa harapan baru. Namun, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka tidak memulai dari ruang kosong. Mereka mewarisi beban besar: utang luar negeri yang menumpuk, kebijakan sumber daya alam (SDA) yang masih didominasi asing, serta struktur ekonomi yang rapuh. Istilah “mencuci piring” terasa tepat. Piring itu berisi sisa kebijakan sejak era Soekarno hingga Jokowi yang belum selesai dibereskan.
Dari Soekarno ke Soeharto: Utang dan Ketergantungan
Soekarno ingin Indonesia mandiri lewat gagasan berdikari. Namun, proyek mercusuar dan konfrontasi luar negeri membuat beban fiskal berat. Tahun 1965, inflasi menembus 650%. Utang ke Soviet dan Barat menumpuk.
Soeharto kemudian masuk dengan resep stabilitas politik dan bantuan Barat. IGGI dan Paris Club menjadi penopang utama. Ekonomi memang tumbuh, tetapi SDA dikuasai asing melalui kontrak karya jangka panjang. Indonesia masuk perangkap ketergantungan utang sekaligus ketergantungan investasi asing.
Era Reformasi : Transisi Tanpa Fondasi Kuat
Habibie berfokus pada restrukturisasi pasca-krisis 1998. Gus Dur dan Megawati melanjutkan, tetapi utang luar negeri tetap berat. UU Migas dan UU Penanaman Modal justru semakin membuka peluang investor asing.
Era SBY: Disiplin Fiskal, Hilirisasi Setengah Hati
SBY berhasil menurunkan rasio utang dari 56% ke 24% PDB. Kredit Usaha Rakyat (KUR) lahir, Indonesia kembali ke investment grade, dan pertumbuhan stabil di kisaran 6%.
Namun, hilirisasi SDA berjalan lambat. UU Minerba 2009 memang mewajibkan divestasi saham asing dan pengolahan di dalam negeri, tetapi implementasinya minim. Indonesia masih mengandalkan ekspor mentah seperti batubara, sawit, dan karet.
Era Jokowi: Infrastruktur dan Hilirisasi, tapi Utang Melonjak
Jokowi mengambil langkah berani dengan hilirisasi nikel sejak 2020. Indonesia berhasil memaksa investasi smelter masuk, mayoritas dari Tiongkok. Namun, kepemilikan asing tetap dominan. Negara lebih banyak mendapat pajak dan royalti, sementara keuntungan besar dinikmati korporasi luar.
Utang luar negeri naik tajam. Dari Rp2.604 triliun (2014) melonjak menjadi lebih dari Rp7.800 triliun (2024). Infrastruktur memang berkembang pesat, tetapi sebagian besar dibiayai utang.
Prabowo–Gibran : Jalan Panjang Cuci Piring
Kini, Prabowo–Gibran harus menyelesaikan tiga persoalan besar:
- Utang luar negeri. Bunga dan cicilannya menggerus ruang fiskal. Tanpa restrukturisasi, APBN bisa tersandera.
- SDA strategis. Meski hilirisasi berjalan, kepemilikan asing masih kuat. Divestasi harus ditegakkan sesuai UU Minerba.
- Ekonomi rakyat. Pertumbuhan belum berpihak ke UMKM, koperasi, dan sektor produksi lokal.
Apa yang bisa dilakukan?
- Audit dan restrukturisasi utang luar negeri.
- Mendorong BUMN dan swasta nasional jadi pemain utama hilirisasi SDA.
- Perluas akses pembiayaan rakyat, bukan sekadar bansos.
- Ubah pola pembangunan infrastruktur, lebih banyak lewat public-private partnership agar tidak menambah beban utang.
Penutup
Sejarah panjang ekonomi Indonesia menunjukkan satu pola berulang: utang luar negeri menumpuk, SDA dikendalikan asing, dan rakyat hanya penonton. SBY disiplin menekan utang, tetapi lemah di industrialisasi. Jokowi berani hilirisasi, tetapi dengan harga utang yang mahal.
Kini, Prabowo–Gibran memegang kendali. Mereka harus berani “mencuci piring” warisan panjang ini. Jika berhasil mengembalikan kendali SDA kepada bangsa sendiri, menurunkan ketergantungan pada utang, dan menumbuhkan ekonomi rakyat, maka sejarah akan mencatat: untuk pertama kalinya Indonesia benar-benar berdiri di atas kaki sendiri.