ruminews.id, Di sebuah negeri tropis yang selalu panas, baik cuacanya maupun perbincangan politiknya, rakyat sedang kebingungan membedakan dua Gibran. Yang satu adalah Kahlil Gibran, penyair bijak dari Lebanon, yang kalimat-kalimatnya menenangkan jiwa. Yang satu lagi adalah Gibran Rakabuming, yang… yah, kalimat-kalimatnya sering bikin kita bertanya: “Apa maksudnya, ya?”
Kahlil Gibran berkata, “Kebijaksanaan bukan hasil dari pendidikan, tapi hasil dari usaha seumur hidup untuk mencarinya.” Sedangkan Gibran yang satu lagi tampaknya lebih sering menunjukkan bahwa jabatan tinggi tidak selalu berkorelasi dengan kalimat yang tinggi makna. Kadang bahkan terlalu pendek, dan lebih mirip caption Instagram yang belum sempat diedit.
Kahlil Gibran berbicara tentang cinta, penderitaan, dan jiwa manusia. Kata-katanya abadi dan sering muncul di mug-mug dan poster-poster motivasi. Gibran yang satu lagi? Kata-katanya muncul di potongan video viral, bukan karena menginspirasi, tapi karena bikin publik mengerutkan dahi sambil berkata, “Lho, serius ini Wakil Presiden?”
Tentu, setiap orang berhak belajar. Tapi ketika seseorang sudah berada di panggung tertinggi republik dan masih tampak seperti sedang magang politik, publik wajar bertanya, “Apa sebenarnya tugas Wakil Presiden? Membuka acara? Atau sekadar hadir sebagai pengingat bahwa nepotisme itu nyata adanya?”
Ada yang bilang, “Diam itu emas.” Mungkin karena itulah Gibran sering diam. Tapi diam yang terlalu sering, di tengah krisis bangsa, bukan lagi emas melainkan kebingungan yang dibungkus formalitas.
Lucunya, kalau Kahlil Gibran menulis tentang “Anakmu bukan milikmu, mereka adalah putra dan putri kehidupan,” Gibran kita mungkin sedang menulis sesuatu juga… entah di catatan kecil atau di memo yang belum dipublikasikan. Tapi publik belum pernah membacanya. Karena karya utamanya tampaknya adalah… kehadiran itu sendiri.
Namun, mari kita tetap adil. Mungkin Gibran yang satu ini belum selesai menulis puisinya untuk bangsa. Mungkin kita hanya belum memahami gaya puisinya, jenis puisi yang tak berima, tak berisi, tapi penuh makna… yang hanya diketahui oleh lingkaran istana.
Tentu, ini bukan serangan pribadi. Ini hanya kegelisahan rakyat yang merindukan pemimpin yang bijak seperti Kahlil, bukan hanya bernama Gibran. Karena negeri ini butuh lebih dari sekadar nama besar tapi juga kebesaran jiwa, kejernihan pikiran, dan keberanian untuk berbicara bukan hanya saat diwawancara, tapi juga saat keadilan dipertaruhkan.
Sebab pada akhirnya, sejarah tidak mengingat siapa yang paling muda menjabat, tapi siapa yang paling matang dalam bersikap.
[Erwin]