ruminews.id – Tahun Baru Islam 1447 H bukan sekedar penanggalan hijriah, tetapi momentum historis dan spiritual yang monumental. Hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah adalah titik balik dalam sejarah Islam, yang menandai lahirnya masyarakat Islam yang terorganisir secara politik, sosial, dan ekonomi. Rasulullah membangun tatanan masyarakat dengan Piagam Madinah sebagai konstitusi awal, menegakkan keadilan, dan mengatur tata kelola kehidupan bersama —sebuah praktik politik profetik yang sarat nilai.
Namun, bagaimana kita—orang muda Muslim Indonesia—menyikapi momen hijrah ini hari ini?
Dalam realitas kekinian, kita menyaksikan umat Islam Indonesia sebagai mayoritas secara jumlah, tetapi belum menjadi mayoritas secara pengaruh politik. Hadits Nabi tentang umat akhir zaman yang seperti buih—terlalu banyak tetapi ringan dalam dampak—sering kita dengar. Ini bukan nasib, tapi akibat dari lemahnya partisipasi strategis. Dalam hal ini, dunia politik masih terlalu dijauhi oleh sebagian orang muda Muslim, dianggap kotor dan penuh intrik.
Padahal, jika kita menengok sejarah Nabi SAW, justru orang muda diberikan posisi penting dalam kerja politik Islam. Usamah bin Zaid, misalnya, ditunjuk oleh Rasul sebagai panglima perang di usia 18 tahun, memimpin pasukan yang di dalamnya ada tokoh senior seperti Abu Bakar dan Umar. Ali bin Abi Thalib yang masih belasan tahun dipercaya menjaga keselamatan Nabi dalam peristiwa hijrah. Mus’ab bin Umair dikirim ke Yatsrib (Madinah) sebagai duta dakwah dan negosiator politik, bahkan sebelum hijrah resmi dilakukan.
Tradisi Islam sejak awal telah menempatkan orang muda dalam posisi strategis. Bukan karena kurangnya tokoh tua, tetapi karena keberanian, energi, dan kejernihan hati yang dimiliki pemuda. Maka tidak ada alasan bagi kita hari ini untuk menunda keterlibatan politik. Justru menjauhi politik adalah bentuk pembiaran terhadap ketidakadilan yang terus berlangsung.
Orang muda Muslim harus berhenti hanya menjadi komentator dari luar sistem. Kita harus menjadi aktor di dalamnya. Masuk ke partai, mengisi birokrasi, menjadi legislator, merancang kebijakan, atau menjadi pemimpin daerah—semua itu adalah ladang amal jika niat dan jalannya benar.
Saatnya Berhijrah: Dari Penonton Menjadi Penggerak
Generasi muda Muslim hari ini sedang berdiri di persimpangan sejarah. Di satu sisi, ada gelombang kesadaran baru tentang pentingnya keterlibatan dalam perubahan sosial-politik. Di sisi lain, ada godaan besar untuk tetap berada di zona nyaman: mengkritik tanpa bertindak, idealis tanpa strategi.
Tahun Baru Islam 1447 H ini adalah momentum yang tepat untuk hijrah secara makna: dari diam menjadi bergerak, dari reaktif menjadi proaktif, dari penonton menjadi pengarah dan pemain. Sudah saatnya kita berhenti hanya ramai di media sosial tetapi kosong di ruang keputusan publik.
Inspirasi bisa kita ambil dari tokoh-tokoh kontemporer yang menempuh jalan ini. Bahlil Lahadalia, misalnya, adalah sosok yang memulai karier dari aktivisme mahasiswa dan organisasi keislaman, hingga akhirnya menjadi Menteri Investasi, Menteri ESDM dan kini memimpin Partai Golkar. Ia membuktikan bahwa anak muda Muslim bisa mengambil peran penting dan selalu berpihak pada Islam.
Namun perjuangan ini tak cukup ditopang oleh satu-dua orang. Diperlukan gelombang besar, gerakan kolektif orang muda Muslim yang terdidik, terorganisir, dan punya komitmen moral untuk memperbaiki bangsa. Kita harus menyadari bahwa kerja politik bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi tentang khalifah fil ardh—tanggung jawab sosial dan kepemimpinan di muka bumi.
Kita tidak perlu menunggu sempurna untuk memulai. Seperti kata Sayyidina Ali, “Kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir.” Maka kerja politik orang muda Muslim harus dimulai hari ini—dengan nilai, dengan visi, dan dengan semangat hijrah yang menyalakan peradaban.
Karena jika bukan kita, siapa lagi? Dan jika tidak sekarang, kapan lagi? Selamat Tahun Baru Islam!